Rabu, 14 Juni 2017

Resensi Film Indonesia "Jingga" (Tugas Bahasa Indonesia Kelas XI SMA 2017)



RESENSI FILM
 
 
Judul Film                   : Jingga                                   
Sutradara                     : Lola Amaria                         
Produser                      : Lola Amaria
Musik                          : Thoersi Argeswara
Tanggal Rilis               : 25 Februari 2016
Genre                          : Drama
Pemeran                      :
1.      Hifzane Bob sebagai Jingga
2.      Keke Soeryo sebagai Fusia, ibu Jingga
3.      Ray Sahetapy sebagai Ireng, ayah Jingga
4.      Qausar Harta Yudana sebagai Marun
5.      Hany Valery sebagai Nila
6.      Aufa Assagaf sebagai Magenta
7.      Joshua Pandelaki sebagai Pak Kirmizi
8.      Isa Raja Loebis sebagai Kang Gory
9.      Meirayni Fauziah sebagai Violet, adik Jingga
10.  Nina Tamam sebagai ibu Nila

Sinopsis                       :
            Menceritakan tentang empat remaja tunanetra yang membentuk grup musik di SLB tempat mereka bersekolah, yaitu Jingga, Marun, Nila, dan Magenta, serta perjuangan ibunda Jingga dalam membantu anaknya menemukan kembali kegembiraan dan dunianya setelah Jingga divonis buta.

Resensi                                    :
            Film “Jingga” ditulis, diproduseri, dan disutradarai oleh Lola Amaria. Ia menulis naskah film ini bersama Gunawan Raharja. Lola Amaria menghadirkan empat pemain yang terbilang baru, yakni Hifzane Bob, Hany Valery, Qausar Harta Yudana, dan Aufa Assegaf. Ia memilih pemain baru karena ingin meyakinkan penonton bahwa mereka benar-benar disabilitas. Film ini mendapat penghargaan sebagai Film Terpuji pada ajang Festival Film Bandung tahun 2016. Selain itu film ini mendapatkan beberapa penghargaan pada ajang Indonesia Movie Aktor Awards tahun 2016 yang diraih oleh Hany Valery sebagai Pendatang Baru Terbaik dan Terfavorit, Lola Amaria sebagai Sutradara Terpuji, dan Thoersi Argeswara sebagai Penata Musik Terpuji.

            Film ini mengambil tema persahabatan antara empat orang anak yang memiliki latar belakang yang sama yaitu sama-sama hidup sebagai tunanetra. Meskipun tidak dapat melihat, mereka dapat merasakan sesuatu dengan indera mereka yang lain. Empat sahabat ini memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, namun mereka memiliki hobi yang sama yaitu bermain musik. Hobi itulah yang membuat mereka bersatu membuat sebuah grup band dengan ikatan persahabatan yang sangat erat bagaikan saudara. Sosok anak-anak ini digambarkan dengan karakter yang sabar, ramah, ceria, sopan, dan santun. Selain itu film ini menceritakan perjuangan seorang ibu yang senantiasa mendukung dan mendampingi anaknya dalam berjuang menjalani hidup sebagai seorang tunanetra. Ide ini dikembangkan oleh Lola Amaria dan Gunawan Raharja menjadi sebuah kisah persahabatan yang sangat mengasyikan, mengharukan, menyentuh dan dapat membuat penonton menyadari arti penting dari sebuah persahabatan yang dapat menerangi dan mewarnai kehidupan.
            Jingga (Hifzane Bob) adalah seorang anak yang ramah, sabar, dan selalu bersemangat.  Ia sangat suka bermain dram. Saat berusia 7 bulan, Jingga diperkirakan oleh seorang dokter bahwa ia akan hidup sebagai seorang tunanetra. Hal itu membuat ibunya yang bernama Fusia (Keke Soeryo) frustasi. Sementara itu ayahnya Jingga yang bernama Ireng (Ray Sahetapy) enggan untuk menerima kenyataan tersebut dan tetap memperlakukan Jingga seperti anak biasanya. Oleh karena itu, ibunya Jingga selalu mendampingi Jingga dalam menjalani kehidupannya. Tak lupa adik Jingga pun yang bernama Violet (Meirayni Fauziah) ikut serta membantu ibunya  dalam merawat Jingga.
            Sebenarnya Jingga dapat melihat seperti orang normal pada umumnya sampai ia berusia 7 tahun. Saat berusia 7 tahun, Jingga mengalami kecelakaan. Ia tertabrak oleh sepeda motor yang membuat saraf optiknya terganggu dan mulai saat itulah Jingga hanya dapat melihat dunia dalam keadaan remang-remang. Meskipun begitu ia tetap bersekolah di sekolah biasa dengan menggunakan kacamata dan sebuah alat bantu yang dapat memperjelas tulisan yang ia baca. Hal tersebut membuat ibunda Jingga kembali terpuruk dan ayahnya lagi-lagi enggan untuk menerima keadaan Jingga. Meski begitu, ibunda Jingga tetap berada di sampingnya dan mendukungnya. Di sisi lain ayah Jingga terus menekan Jingga agar tidak tergantung kepada orang lain dan hidup seperti orang biasa yang memiliki penglihatan yang normal. Perbedaan pendapat tersebut membuat ayah dan ibu Jingga seringkali bertengkar.
Pada suatu saat Jingga dipukul oleh salah seorang teman sekolahnya yang membuat Jingga benar-benar tidak dapat melihat. Ia menjadi seorang tunanetra. Hal tersebut membuat ayah dan ibu Jingga bertengkar kembali. Akhirnya Jingga dipindahkan sekolahnya ke Sekolah Luar Biasa Negeri 4 Kota Bandung. Di sana ia diberikan motivasi hidup oleh Pak Kirmizi (Joshua Pandelaki) yang merupakan guru yang sama-sama hidup sebagai seorang tunanetra. Motivasi tersebut membuat Jingga kembali bersemangat untuk menjalani kehidupannya. Selain itu ia bertemu dengan teman-teman baru, yaitu Marun (Qausar Harta Yudana), Nila (Hany Valery), dan Magenta (Aufa Assagaf). Marun adalah seorang tunanetra sejak lahir. Ibu dan saudara kandungnya pun tunanetra. Hal itu terjadi karena adanya pencemaran sungai oleh limbah pabrik. Ayahnya yang normal bekerja sebagai buruh pabrik. Nila adalah seorang tunanetra yang kesepian. Ia hanya tinggal bersama ibunya dan tidak memiliki saudara. Sementara Magenta adalah seorang tunanetra yang merasa khawatir karena ibunya yag selalu merasa bersalah atas kebutaan yang dialaminya. Meskipun memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, mereka sangat akrab dan bersahabat dengan baik seperti keluarga.
Jingga, Marun, Nila, dan Magenta memiliki hobi yang sama yaitu bermain musik. Akhirnya mereka memutuskan untuk membentuk sebuah grub band yang bernama “Merah”. Jingga sebagai pemain drum, Marun sebagai pemain gitar, Magenta sebagai pemain bass, dan Nila sebagai vokalis sekaligus pemain organ. Mereka terus berlatih dengan didampingi oleh Kang Gory (Isa Raja Loebis) yang merupakan seorang musisi. Selain berlatih, mereka juga saling bercerita satu sama lain sehingga persahabatan mereka semakin kuat.
Persahabatan tak lepas dari berbagai konflik atau permasalahan. Begitu pula persahabatan yang dialami oleh Jingga. Dimulai dengan permasalahan cinta segitiga antara Jingga, Marun, dan Nila sampai permasalahan Marun yang mengalami kanker darah. Di sinilah persahabatan mereka diuji untuk mengetahui seberapa kuat dan teguhnya kasih sayang di antara mereka berempat.
Dalam film ini terdapat beberapa adegan yang menarik. Salah satunya yaitu ketika Magenta disuruh Bu Guru untuk melepaskan kacamatnya dan terlihat matanya yang seluruhnya putih. Hal tersebut membuat penonton kaget namun kemudian merasa tersentuh setelah melihat mata Magenta tersebut. Selain itu, Marun dan Magenta memiliki sikap humoris yang dapat mencairkan suasana ditambah lagi logat Marun yang bercampur dengan bahasa Sunda dan logat Magenta yang bercampur dengan bahasa Ambon membuat percakapan di antara mereka lebih berwarna. Meski pemain baru, kemampuan mereka dalam berakting sungguh luar biasa. Khususnya pemeran Nila dan Magenta yang benar-benar mirip seperti seorang tunanetra pada umumnya, sehingga membuat penonton mengira bahwa mereka benar-benar disabilitas di kehidupan nyatanya.
Adegan dalam film ini kurang terlihat alami karena Jingga, Marun, Nila dan Magenta seolah-olah hanya berhubungan berempat saja dan tidak digambarkan bahwa mereka berhubungan dengan anak tunanetra lain. Terlepas dari hal itu, film ini memiliki nilai moral dalam menghadapi lika-liku kehidupan. Penonton diminta untuk menyadari betapa beruntungnya dapat melihat keindahan dunia dan supaya penonton dapat mengetahui bahwa masih banyak orang lain yang kurang beruntung agar dapar bersikap lebih rendah hati dan peduli pada sesama serta bersyukur kepada Yang Maha Pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar