RESENSI FILM
Judul
Film : Jingga
Sutradara : Lola Amaria
Produser : Lola Amaria
Musik : Thoersi Argeswara
Tanggal
Rilis : 25 Februari 2016
Genre : Drama
Pemeran :
1. Hifzane
Bob sebagai Jingga
2. Keke
Soeryo sebagai Fusia, ibu Jingga
3. Ray
Sahetapy sebagai Ireng, ayah Jingga
4. Qausar
Harta Yudana sebagai Marun
5. Hany
Valery sebagai Nila
6. Aufa
Assagaf sebagai Magenta
7. Joshua
Pandelaki sebagai Pak Kirmizi
8. Isa
Raja Loebis sebagai Kang Gory
9. Meirayni
Fauziah sebagai Violet, adik Jingga
10. Nina
Tamam sebagai ibu Nila
Sinopsis :
Menceritakan tentang empat remaja
tunanetra yang membentuk grup musik di SLB tempat mereka bersekolah, yaitu Jingga,
Marun, Nila, dan Magenta, serta perjuangan ibunda Jingga dalam membantu anaknya
menemukan kembali kegembiraan dan dunianya setelah Jingga divonis buta.
Resensi :
Film “Jingga” ditulis, diproduseri,
dan disutradarai oleh Lola Amaria. Ia menulis naskah film ini bersama Gunawan
Raharja. Lola Amaria menghadirkan empat pemain yang terbilang baru, yakni
Hifzane Bob, Hany Valery, Qausar Harta Yudana, dan Aufa Assegaf. Ia memilih
pemain baru karena ingin meyakinkan penonton bahwa mereka benar-benar
disabilitas. Film ini mendapat penghargaan sebagai Film Terpuji pada ajang
Festival Film Bandung tahun 2016. Selain itu film ini mendapatkan beberapa
penghargaan pada ajang Indonesia Movie Aktor Awards tahun 2016 yang diraih oleh
Hany Valery sebagai Pendatang Baru Terbaik dan Terfavorit, Lola Amaria sebagai
Sutradara Terpuji, dan Thoersi Argeswara sebagai Penata Musik Terpuji.
Film ini mengambil tema persahabatan
antara empat orang anak yang memiliki latar belakang yang sama yaitu sama-sama
hidup sebagai tunanetra. Meskipun tidak dapat melihat, mereka dapat merasakan
sesuatu dengan indera mereka yang lain. Empat sahabat ini memiliki latar
belakang kehidupan yang berbeda, namun mereka memiliki hobi yang sama yaitu
bermain musik. Hobi itulah yang membuat mereka bersatu membuat sebuah grup band
dengan ikatan persahabatan yang sangat erat bagaikan saudara. Sosok anak-anak
ini digambarkan dengan karakter yang sabar, ramah, ceria, sopan, dan santun. Selain
itu film ini menceritakan perjuangan seorang ibu yang senantiasa mendukung dan
mendampingi anaknya dalam berjuang menjalani hidup sebagai seorang tunanetra.
Ide ini dikembangkan oleh Lola Amaria dan Gunawan Raharja menjadi sebuah kisah
persahabatan yang sangat mengasyikan, mengharukan, menyentuh dan dapat membuat
penonton menyadari arti penting dari sebuah persahabatan yang dapat menerangi
dan mewarnai kehidupan.
Jingga (Hifzane Bob) adalah seorang
anak yang ramah, sabar, dan selalu bersemangat.
Ia sangat suka bermain dram. Saat berusia 7 bulan, Jingga diperkirakan
oleh seorang dokter bahwa ia akan hidup sebagai seorang tunanetra. Hal itu
membuat ibunya yang bernama Fusia (Keke Soeryo) frustasi. Sementara itu ayahnya
Jingga yang bernama Ireng (Ray Sahetapy) enggan untuk menerima kenyataan
tersebut dan tetap memperlakukan Jingga seperti anak biasanya. Oleh karena itu,
ibunya Jingga selalu mendampingi Jingga dalam menjalani kehidupannya. Tak lupa
adik Jingga pun yang bernama Violet (Meirayni Fauziah) ikut serta membantu
ibunya dalam merawat Jingga.
Sebenarnya Jingga dapat melihat
seperti orang normal pada umumnya sampai ia berusia 7 tahun. Saat berusia 7
tahun, Jingga mengalami kecelakaan. Ia tertabrak oleh sepeda motor yang membuat
saraf optiknya terganggu dan mulai saat itulah Jingga hanya dapat melihat dunia
dalam keadaan remang-remang. Meskipun begitu ia tetap bersekolah di sekolah
biasa dengan menggunakan kacamata dan sebuah alat bantu yang dapat memperjelas
tulisan yang ia baca. Hal tersebut membuat ibunda Jingga kembali terpuruk dan
ayahnya lagi-lagi enggan untuk menerima keadaan Jingga. Meski begitu, ibunda
Jingga tetap berada di sampingnya dan mendukungnya. Di sisi lain ayah Jingga
terus menekan Jingga agar tidak tergantung kepada orang lain dan hidup seperti
orang biasa yang memiliki penglihatan yang normal. Perbedaan pendapat tersebut
membuat ayah dan ibu Jingga seringkali bertengkar.
Pada
suatu saat Jingga dipukul oleh salah seorang teman sekolahnya yang membuat
Jingga benar-benar tidak dapat melihat. Ia menjadi seorang tunanetra. Hal
tersebut membuat ayah dan ibu Jingga bertengkar kembali. Akhirnya Jingga
dipindahkan sekolahnya ke Sekolah Luar Biasa Negeri 4 Kota Bandung. Di sana ia
diberikan motivasi hidup oleh Pak Kirmizi (Joshua Pandelaki) yang merupakan
guru yang sama-sama hidup sebagai seorang tunanetra. Motivasi tersebut membuat
Jingga kembali bersemangat untuk menjalani kehidupannya. Selain itu ia bertemu
dengan teman-teman baru, yaitu Marun (Qausar Harta Yudana), Nila (Hany Valery),
dan Magenta (Aufa Assagaf). Marun adalah seorang tunanetra sejak lahir. Ibu dan
saudara kandungnya pun tunanetra. Hal itu terjadi karena adanya pencemaran
sungai oleh limbah pabrik. Ayahnya yang normal bekerja sebagai buruh pabrik.
Nila adalah seorang tunanetra yang kesepian. Ia hanya tinggal bersama ibunya
dan tidak memiliki saudara. Sementara Magenta adalah seorang tunanetra yang
merasa khawatir karena ibunya yag selalu merasa bersalah atas kebutaan yang
dialaminya. Meskipun memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, mereka
sangat akrab dan bersahabat dengan baik seperti keluarga.
Jingga,
Marun, Nila, dan Magenta memiliki hobi yang sama yaitu bermain musik. Akhirnya
mereka memutuskan untuk membentuk sebuah grub band yang bernama “Merah”. Jingga
sebagai pemain drum, Marun sebagai pemain gitar, Magenta sebagai pemain bass,
dan Nila sebagai vokalis sekaligus pemain organ. Mereka terus berlatih dengan
didampingi oleh Kang Gory (Isa Raja Loebis) yang merupakan seorang musisi.
Selain berlatih, mereka juga saling bercerita satu sama lain sehingga
persahabatan mereka semakin kuat.
Persahabatan
tak lepas dari berbagai konflik atau permasalahan. Begitu pula persahabatan
yang dialami oleh Jingga. Dimulai dengan permasalahan cinta segitiga antara
Jingga, Marun, dan Nila sampai permasalahan Marun yang mengalami kanker darah.
Di sinilah persahabatan mereka diuji untuk mengetahui seberapa kuat dan
teguhnya kasih sayang di antara mereka berempat.
Dalam
film ini terdapat beberapa adegan yang menarik. Salah satunya yaitu ketika
Magenta disuruh Bu Guru untuk melepaskan kacamatnya dan terlihat matanya yang
seluruhnya putih. Hal tersebut membuat penonton kaget namun kemudian merasa
tersentuh setelah melihat mata Magenta tersebut. Selain itu, Marun dan Magenta memiliki
sikap humoris yang dapat mencairkan suasana ditambah lagi logat Marun yang
bercampur dengan bahasa Sunda dan logat Magenta yang bercampur dengan bahasa
Ambon membuat percakapan di antara mereka lebih berwarna. Meski pemain baru,
kemampuan mereka dalam berakting sungguh luar biasa. Khususnya pemeran Nila dan
Magenta yang benar-benar mirip seperti seorang tunanetra pada umumnya, sehingga
membuat penonton mengira bahwa mereka benar-benar disabilitas di kehidupan
nyatanya.
Adegan
dalam film ini kurang terlihat alami karena Jingga, Marun, Nila dan Magenta
seolah-olah hanya berhubungan berempat saja dan tidak digambarkan bahwa mereka
berhubungan dengan anak tunanetra lain. Terlepas dari hal itu, film ini
memiliki nilai moral dalam menghadapi lika-liku kehidupan. Penonton diminta
untuk menyadari betapa beruntungnya dapat melihat keindahan dunia dan supaya
penonton dapat mengetahui bahwa masih banyak orang lain yang kurang beruntung
agar dapar bersikap lebih rendah hati dan peduli pada sesama serta bersyukur
kepada Yang Maha Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar