Prolog
Usia enam tahun, aku suka memikirkan
hal-hal aneh. Salah satunya aku pernah sibuk memikirkan: Jika kita buang air
besar di hulu Kapuas, kira-kira butuh berapa hari kotoran itu akan tiba di
muara sungai, melintas di depan rumah papan kami?
”Kau ada-ada saja, Borno. Urusan
kotoran saja kau lamunkan.” Bapak
bukannya menjawab, malah tergelak, sibuk membereskan jaring. Aku pindah bertanya
pada Ibu.
”Borno, jangan tanya macam-macam!
Melihat tingkah kau satu macam saja Ibu sudah pusing.” Ibu melotot, menyuruhku
bergegas mengantar pesanan.
Tiba di rumah Koh Acong pemilik toko
kelontong yang menghadap persis Sungai Kapuas, aku bertanya sambil menjulurkan
setampuk ikan segar.
”Koh, berapa panjang Kapuas?”
”Mana aku tahu.” Koh Acong yang
sedang repot melayani nelayan yang berbelanja keperluan rumah setelah pulang
melaut tidak memedulikanku.
”Koh pernah ke hulu Kapuas?” aku
mendesak.
”Haiya, kau tidak lihat aku sibuk?
Berapa liter gulanya? Satu setengah? Kau jadi ambil karung goni berapa? Tiga?
Ah iya, semuanya jadi 149.650 perak.” Koh Acong menceracau rincian belanja dan
harga.
”Kau menganggu saja, Borno. Bawa
ikannya ke belakang sana. Jangan taruh di atas etalase kaca mahalku.” Koh Acong
melotot sambil mereken uang kembalian, tidak peduli. Aku bersungut-sungut
membawa ikan ke bagian belakang toko kelontong. Istri Koh Acong sedang
menyalakan kompor, tertawa senang melihatku membawa ikan segar. Dia pun
menyerahkan uang. Masih sisa dua tampuk, aku harus bergegas.
Tiba di warung makan Cik Tulani,
masih terhitung paman jauhku, pertanyaan itu tetap memenuhi kepala. Kutanyakan
pada Cik Tulani.
”Kau tanya apa tadi, hah?”
”Cik pernah ke hulu Kapuas?”
”Belum pernah.”
”Cik tahu di mana hulu Kapuas?”
” Tidak tahu.”
Cik Tulani tidak peduli. Dia justru
sibuk mengocehkan protes setiap kali aku mengantar ikan. Semua orang di tepian
Kapuas juga tahu Cik Tulani memang suka mengomel.
Aku bergegas membawa tampuk ikan
terakhir ke tujuan berikutnya. Pak Tua sedang duduk takzim menunggu di atas
sepit. Sepit (dari kata speed) adalah perahu kayu, panjang lima meter, lebar
satu meter, dengan tempat duduk melintang dan bermesin tempel.
”Kau sepertinya sedang memikirkan
sesuatu, Borno. Kalau orang tua ini boleh tahu, apa itu?” Pak Tua menyeringai,
memutus lamunanku. Selain memang menyenangkan dan berpengetahuan luas, Pak Tua
pandai membaca raut wajah.
”Pak Tua pernah ke hulu Kapuas?”
”Sering. Waktu aku masih muda.”
Tidak perlu sedetik, Pak Tua menjawab mantap.
”Berapa jauh jaraknya, Pak?”
”Jauh sekali, Borno. Berkelok-kelok,
beratus-ratus cabang anak sungai, terus masuk ke pedalaman Kalimantan. Tidak
terbayangkan betapa eloknya.”
”Berapa hari perjalanan dengan perahu,
Pak?” Aku makin antusias.
”Tergantung perahu kau. Perahu
besar, buatan tukang terbaik, akan lebih cepat. Sebaliknya, kalau hanya sepit macam
ini, hanya tinggal papannya saja yang sampai di hulu.”
”Woi, Pak Tua! Giliran sepit Pak Tua
mengisi penumpang!” Petugas timer meneriaki Pak Tua. Pak Tua tertawa, segera menyalakan
mesin tempel.
”Salam buat Bapak dan Ibu, Borno.
Terima kasih untuk ikannya.” Sepit Pak Tua sudah merapat anggun ke dermaga
kayu. Aku hanya bisa menatap sebal.
Usia dua belas, aku mengalami hari
terburuk dalam hidupku. Bapak tercinta, nelayan tangguh yang menjadi tulang
punggung keluarga, terjatuh dari perahu saat melaut. Bapak jatuh, tersengat
ubur-ubur. Sengatan hewan itu membuat Bapak kejang seketika. Nelayan lain yang
menyertai Bapak tahu, hanya soal waktu detak jantung Bapak terhenti.
Pagi buta itu Ibu membangunkanku.
Kami segera pergi menuju RSUD Pontianak. Kami berlari-lari kecil memasuki rumah
sakit. Tidak ada yang memedulikanku. Aku duduk di lantai, menatap kosong petak
keramik, dinding, dan lampu neon. Beberapa perawat dan dokter menyusul masuk ke
ruang gawat darurat. Tampang mereka bukan kabar baik.
Di depanku tiba-tiba sudah berdiri
seorang gadis kecil, seumuranku. Aku tidak peduli, mungkin anggota keluarga
pasien lain. Gadis itu justru menatapku, lamat-lamat. Aku melirik selintas,
rambutnya dikepang dua, wajahnya keturunan Cina, matanya redup oleh kesedihan.
Lihatlah, Bapak tergeletak tidak
berdaya di atas ranjang. Dokter menghela napas, bilang tidak ada solusi. Ibu
tertunduk mendekap bahuku Astaga. Bukan tidak ada lagi solusi yang membuatku
tiba-tiba sesak. Tetapi entah apa yang ada di kepala Bapak, sebelum tubuhnya
benar-benar berhenti bekerja, Bapak mendonorkan jantungnya.
”Bapak belum mati!” aku berteriak marah.
”Bapak kau tahu persis apa yang dia lakukan, Borno.”
Ibu bersimbah air mata memelukku erat-erat.
Bab 1
Pagi kota kami terlihat sibuk
semakin sibuk saja malah. Aku melangkah menuju mulut gang, Aku terus berjalan
menelusuri gang sepanjang Kapuas. Beberapa tetangga menyapa, aku mengangguk
samar.
”Berangkat kerja, Borno?” Aku
menyengir, mengiyakan.
”Mana seragam keren kau itu,
Borno?”Aku tertawa kecut.
”Gagah sekali kau, Borno. Belum
mandi saja sudah segagah ini.”
” Tutup mulut.” Aku pura-pura
mengacungkan tinju, terus melangkah.
”Berangkat kerja, Borno?” Dua belas
langkah berikutnya, suara khas itu menyapa. Andi, teman baikku, sepagi ini
sudah berkutat oli dan jelaga. Dia bekerja pada bapaknya yang punya bengkel
motor sekaligus cuci salju.
‘’Ye lah, berangkat kerja.” Aku
mengangguk, berhenti sebentar, memperhatikan serakan onderdil motor yang
dilepas.
”Sudah berapa kali kau gonta-ganti
pekerjaan, Borno. Macam tidak ada tempat yang bisa membuat kau betah.” Bapak
Andi yang mengunyah pisang goreng sambil mengawasi anaknya bekerja bertanya
menyeringai. Aku mengangkat bahu, tidak berminat menjawab.
Setelah Bapak meninggal, sepuluh
tahun lalu, ajaib, aku tetap bertahan sekolah hingga SMA. Sebulan lulus dari
SMA, setelah sibuk melamar pekerjaan, salah satu pabrik pengelolaan karet yang
banyak terdapat di tepian Kapuas menerimaku. Itu tempat bekerja pertamaku, dengan
seragam berwarna oranye.
Di penghujung bulan keenam, tanpa
kabar burung, puluhan buruh mendadak dirumahkan. Mesin penggiling karet
berhenti. Pabrik tutup total. Padahal, jujur, aku mulai terbiasa dengan bau busuk karet meski tidak
jatuh cinta. Aku kehilangan pekerjaan.
Esoknya, aku berangkat ke kantor
syahbandar Pontianak. Tetanggaku memberitahu bahwa ada lowongan pekerjaan di
sana. Berkas lamaranku diterima, aku bahkan siangnya langsung dipanggil
wawancara, di ruangan besar pejabat
syahbandar.
“Kau terlalu muda, Nak, baru lulus
SMA. Kenapa kau tidak melanjutkan sekolah?“ Aku menggeleng perlahan, bilang justru
dengan bekerja aku berharap kuliah.
Pak pejabat syahbandar tersenyum
lebar. ”Kau tipikal anak muda yang mandiri, Borno.” Pak pejabat mengembalikan
map merah, menyalamiku. Ditolak. Aku kecewa. Mau apa lagi? Tetapi setidaknya, aku
memperoleh rujukan darinya.
Besoknya aku berangkat ke dermaga
feri Pontianak.
Aku menumpang perahu tempel Bang
Togar menyeberangi Kapuas.
”Kau sebenarnya mau ke mana? Tanya Bang
Togar.”
“Aku mau ke dermaga feri.”
”Dermaga feri? Astaga? Apa pula
urusan kau ke tempat itu?” Seringai Bang Togar yang biasanya ramah selalu,
langsung terlipat, seketika masam.
Aku ragu-ragu menjawab. Ada yang
ganjil dengan tampang galak Bang Togar. ”Eh, aku, hendak melamar pekerjaan,
Bang.”
”Astaga? Apa kau bilang?” Bang Togar
terlonjak dari buritan sepit, hampir terjengkang ke dalam air. Aku takut-takut
mengangguk. Bang Togar ini bertubuh besar
”Tiga turunan, Borno. Tiga turunan.
Kau ingat itu baik-baik.” Bang Togar kasar menunjuk hidungku. Aku tercengang
belum mengerti. Apanya yang tiga turunan? Ternyata inilah yang membuat rumit
urusan pekerjaan keduaku, bagai benang kusut.
Bab2
Sejak zaman dahulu, sepit sudah
menjadi primadona. Ke mana-mana penduduk kota Pontianak naik sepit. Zaman
berubah. Jembatan besar yang hanya ada dalam angan selesai dibangun. Hadirnya
jembatan beton di kota Pontianak sedikit-banyak
mengurangi kehebatan sepit. Namun, di luar jembatan beton ini, masih ada
yang menjadi pesaing sepit, apalagi kalau bukan pelampung. Benar, pelampung
inilah yang membuat Bang Togar mencak-mencak mendengar kabar aku diterima
bekerja di dermaga feri
Dua minggu bekerja di dermaga feri,
situasinya semakin runyam. Setiap berangkat dan pulang kerja aku terpaksa
menumpang angkutan umum, dua kali ganti kendaraan, waktu
terbuang percuma, dan ongkos lebih mahal. Bang Togar
dan persatuan sepitnya sekarang malah memasang surat keputusan melarangku naik
sepit. Dia melaminating dan menempel fotoku besar-besar di dermaga kayu.
Aku tidak mau dilibatkan lebih
lanjut. Urusanku selesai dengan menyerahkan surat berhenti. Aku menemui pejabat
syahbandar, bilang amat menyesal dan minta maaf, satu bulan pun tidak bertahan.
Pejabat syahbandar yang memberikan rekomendasi, mengelus dahi.
”Tidak mengapa, Borno. Bukan masalah
besar. Kalau kau mau, aku bisa mencarikan kau pekerjaan baru. Ah iya, ada
kenalanku, pengusaha besar di Pontianak. Hebat sekali orang ini, bisnisnya hanya
urusan ludah-meludah, tapi kaya raya. Dia punya gedung di setiap jengkal kota
Pontianak. Kau mau bekerja padanya?”
Urusan ludah-meludah ini apalagi
kalau bukan sarang burung walet. Tidak. Aku tidak akan bekerja di sana. Sebaik
apa pun pemiliknya, sebanyak apa pun gajinya, sesederhana apa pun pekerjaanku,
ayolah, apanya yang sederhana kalau aku harus berhadapan dengan ribuan burung
dalam ruangan tertutup dan gelap?
Enam bulan terakhir kuhabiskan
dengan kerja serabutan. Membantu Cik Tulani di warungnya, menunggui toko
kelontong Koh Acong, ikut melaut mencari sotong, toilet mampet, jendela lepas,
bahkan mencari kucing hilang.
Bab3
Warung di pojokan dermaga kayu mengepulkan
aroma pisang goreng, lezat menggoda. Anak-anak berseragam bergerombol menunggu
sepit berikutnya.
”Pagi, Borno. Aku mengusulkan agar
kau menjadi pengemudi sepit, ibu kau menyetujui, Tulani dan Acong mendukung.”
”Aku tidak akan melanggar wasiat Bapak,
Pak Tua.”
”Siapa yang minta kau melanggarnya?”
Pak Tua tertawa.
”Bagaimana mungkin aku tidak
melanggarnya?” Aku melipat dahi.
”Bagaimana mungkin Pak Tua tidak
paham? Bapak berpesan padaku, kalau aku nanti besar, jangan pernah jadi
nelayan, jangan pernah jadi penge...”
”Jamak itu, Borno” Pak Tua memotong
kalimatku, menggelengkan kepala.
”Lazim sekali seorang petani bilang
ke anaknya, ‘Nak, jangan jadi petani, tidak bisa kaya.’ Seorang guru SD bilang
ke anaknya, ‘Nak, jangan jadi guru, hidupnya susah, makan hati pula.’ Seorang
kuli kasar bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan pernah jadi kuli, keringat diperas,
gaji tak memadai.’ Tetapi maksud mereka tidaklah demikian. Hakikat sejati pesan
itu adalah agar kau jadi lebih baik. Nah, ketika almarhum bapak kau bilang
wasiat itu, ‘ Borno,
jangan pernah jadi pengemudi sepit,’ maka bukan
berarti dia melarang kau menjadi pengemudi sepit. Percayalah pada orang tua
ini, Borno, bapak kau pastilah mengizinkan kau menjadi pengemudi sepit seperti
yang kami bicarakan.”
Aku terdiam. Ya, itulah wasiat Bapak
dulu. Aku butuh dua minggu berpikir matang, menimbang-nimbang. Aku akhirnya memutuskan,
aku akan memulai kehidupan sebagai: pengemudi sepit. Sungguh, meski melanggar wasiat
Bapak, aku berjanji akan jadi orang baik, setidaknya aku tidak akan mencuri,
tidak akan berbohong, dan senantiasa bekerja keras meski akhirnya hanya jadi
pengemudi sepit.
Bab 4
Dua hari terakhir, di penghujung
kursus mengemudi sepit, aku punya pertanyaan penting. Sudah dua kali kutanyakan
pada Pak Tua, dan dua-duanya dijawab sama. Kalau aku sudah khatam belajar
mengemudi sepit, lantas sepit siapa yang akan kubawa tarik? Zaman keemasan sepit
sudah berlalu, tidak banyak pemilik sepit yang punya lebih dari satu perahu
tempel seperti halnya juragan opelet.
Pak Tua bilang, ” Tak usah cemas.
Paling sial kau bawa sepit milikku, Borno.”
Aku keberatan. Lantas Pak Tua menarik pakai apa?
”Ah, justru sudah lama aku ingin
berhenti. Kakiku ini sudah sering kram karena asam urat.” Aku tetap keberatan. Lantas
dari mana Pak Tua mendapatkan nafkah?
”Ya dari setoran kaulah.” Pak Tua
tertawa lebar. ”Kita bagi separuh-separuh dari penghasilan bersih sehari. Cukup
adil, bukan?”
Pagi istimewa akhirnya tiba, hari
kelulusanku. Pak Tua tertawa melihatku datang di dermaga pagi buta. Waktu
berlalu begitu cepat. Dermaga sudah sepi penumpang, yang ada hanya pengemudi sepit
berdiri bersama Bang Togar. Eh, kenapa Cik Tulani dan Koh Acong juga ada di
sini? Mereka sepertinya tidak terlihat mau bepergian, justru terlihat menungguku.
”Nah, Borno, resmi sudah kau jadi
bagian dari kami.” Bang Togar, lain dari biasanya malah tertawa. Pengemudi
lain, Cik Tulani, Koh Acong, dan Pak Tua bertepuk tangan. Tanpa kusadari sejak naik dermaga tadi, di
sana telah tertambat satu sepit baru nan mulus, bercat biru, gagah nian diterpa
cahaya matahari pagi.
”Ini sepit kau, Borno.” Bang Togar
membentangkan tangannya, ber kata penuh perasaan. ”Kau tahu, kakek kau dulu
rela berutang ke mana-mana untuk membantu pengemudi sepit gang ini bertahan
hidup. Pagi ini, kami tidak akan membiarkan cucu kakek kau tidak punya sepit.”
Aku masih kehilangan kata-kata,
menatap silih berganti sekitar, setengah tidak percaya. Benarkah itu sepit
milikku? Ini mimpi?
”Ini rencana Togar,” Pak Tua
berbisik di tengah keramaian seruan-seruan antusias. ” Togar yang meminta
pengemudi, penghuni gang, bahkan para penumpang mengumpulkan sumbangan. Perayaan
kecil khatam belajar mengemudi dan penyambutan sepit baruku sepertinya baru akan
selesai satu-dua jam lagi. Hingga tiba-tiba, petugas timer meneriakiku yang
basah kuyup.
”Hoi! Ada barang penumpang tertinggal
di sepit kau, Borno.” Aku menoleh, merapikan rambut basah di dahi.
”Barang apa?” tanyaku pada petugas
timer yang mendekat.
”Kau tadi memangnya tidak memeriksa
dasar perahu?”
”Ah, Borno paling juga hanya tajam
melihat gumpalan uang.” Pengemudi lain menggoda, tertawa. Aku hendak tertawa,
tetapi mulutku menutup. Ini apa?
”Kutemukan di bangku paling depan,
tergeletak di bawah papan melintang. Kau masih ingat siapa yang duduk di bangku
itu, Borno?”
Aku terdiam. Telingaku tidak lagi
mendengarkan pertanyaan petugas. Mataku sibuk menatap lekat-lekat benda yang kupegang.
Alamak, ini surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama. Surat? Untuk
siapa?
Bab 5
Surat bersampul merah, dilem rapi,
dan tanpa nama itu menjadi bahan percakapan seru hingga beberapa hari kemudian.
Pertama-tama dengan sohib dekatku.
”Mana kulihat?” Andi
mengelap-elapkan tangannya yang berlepotan oli, ingin tahu.
Aku melotot. ”Mana bolehlah tangan
kotor kau pegang surat ini?”
”Ye lah, ye lah, sebentar.” Andi
menyengir sebal.
Aku pun mulai bercerita. Dimulai
dengan pengalaman membawa penumpang pertama kali. ”Aku gugup, Kawan.” Ceritaku
semangat. Andi hanya mengangkat kepala sejenak, tidak peduli. Aku mendengus
kecewa.
Kulanjutkan dengan surprise dari
Bang Togar, musuh besarku, juga orang yang dibenci Andi. ”Sepit itu indah
sekali. Sudah diberi nama Borneo, elok tak?” Ceritaku menggebu-gebu. Andi hanya
menyeringai, sisa perhatiannya kembali ke motor besar. Aku mendengus sebal. Nah,
kututup dengan cerita tentang gadis berbaju kurung kuning, mengembangkan payung
merah, rambut tergerai panjang, wajah sendu menawan. Belum genap aku membagi
deskripsi, kepala Andi sudah terdongak,
matanya menyala seratus watt.
”Apa kau bilang tadi, Borno? Sendu
menawan?” Aku tertawa.
”Hoi, apa yang mau kaulakukan?” Aku
mencegah.
”Melihat isi surat lah. Biar tahu
ini punya siapa.” Andi memasang wajah tanpa dosa.
”Dasar tidak sopan.” Aku merampas
surat itu.
”Kau tidak boleh merobek bahkan
mengintip dalamnya. Ini surat milik orang lain.”
”Kau mau ke mana?” Andi sekarang
panik.
”Pulang, sudah larut. Habis kau
sibuk dengan motor. Lebih
baik aku tidur. Besok pagi-pagi aku
harus menarik sepit.”
” Tega kali kau, Borno.” Wajah Andi
nelangsa.
” Tega apanya?”
”Hanya datang mengganggu
konsentrasiku memperbaiki motor. Sekarang setelah berhasil, kau pulang,
membiarkanku merana dirundung ingin tahu. Sinikan surat merah itu. Aku harus
melihat isinya,” Andi berseru galak. Akupun pulang.
Aku memulai hari dengan semangat,
bukan semata-mata penasaran soal surat bersampul merah, tapi lebih karena di
tiang kolong rumah tertambat si ”Borneo”. Jadi, aku tidak perlu lagi berjalan
kaki ke dermaga kayu melintasi gang sempit tepian Kapuas.
Sepuluh menit berlalu, sepitku
merapat di antrean perahu. Dermaga kayu mulai dipenuhi satu-dua penumpang. Aku
menitip pesan kepada petugas timer untuk memberitahuku jika ada dua gadis SMA
atau gadis keturunan Cina yang menaiki sepit.
Bab 6
Kupikir adegan kejar-kejaran dalam
film itu bohongan, ternyata tidak. Dalam dunia nyataku itu sungguhan, malah
lebih seru. Aku melakukannya dengan sepit, bukan mobil, di sungai, bukan di
jalanan kota. Petugas timer seberang mencariku terkait gadis.
Dalam hitungan menit, sepitku sudah merapat
di antrean dermaga seberang. Setelah menambatkan sepit dan loncat ke atas
dermaga, aku berlari-lari kecil menemui petugas timer.
”Di mana?” aku bertanya, sedikit
tersengal.
”Di mana apanya?” Petugas tidak
cepat paham.
”Gadis berbaju kurung kuning itu.”
Aku menyeka dahi.
”Oh, si cantik itu. Aku tadi lihat dia
di dermaga ini. Lantas ada fiberglass boat putih merapat, gadis itu naik bersama beberapa anak
kecil berseragam putih merah. Dia pergi, wasalam.”
Kukejar kapal itu dari ujung ke ujung,
sampai kehabisan solar, ternyata malah terparkir rapi di dekat antrean sepit.
Kalau begitu, gadis berbaju kuning itu ada di sekitar sini.
Mataku melihat ke sana kemari. Nah, itu anak-anak sekolahnya.
Di mana gadis itu?
”Kau sudah dapat angpaunya, Borno?”
Petugas timer berkata riang, menyapa lebih dulu sebelum aku sempat bertanya apa
dia melihat gadis yang kucari-cari sejak tadi pagi.
”Angpau?” Dahiku terlipat. Aku
mematung. Mulutku terkunci. Aku menoleh ke arah pengemudi lain. Amplop yang
sama juga sedang mereka pegang. Dua hari terakhir aku keliru menebak, ternyata
amplop merah itu tidak penting. Aku menghela napas panjang, balik kanan, hendak
melangkah gontai menuju sepit, menunggu antrean.
”Abang mau terima angpau juga?”
suara merdu itu menyapa.
Aku menoleh. ”Eh? Kau memanggilku?” Tubuhku
membeku seketika.
Seminggu berlalu, yang kutahu adalah
aktivitas gadis itu. Tiba di dermaga kayu pukul 7.15, menyeberang. Dia selalu
berpakaian rapi, dengan tas dipenuhi buku tersampir di pundak. Aku mereka-reka,
tampaknya pekerjaan gadis ini guru. Menurut hitunganku, antrean sepit nomor
tiga belas memiliki peluang terbesar kebagian jatah merapat pukul 7.15 teng.
Bab 7
”Kau sebenarnya kemari buat
menyampaikan pesan bapak kau atau memenuhi rasa penasaran kau?” Aku
menyeringai, duduk menjuntai, menatap kerlip Kapuas.
”Dua-duanya. Sekali dayung, dua-tiga
pulau terlewati.” Andi balas menyeringai.
Baru pukul tujuh malam, Andi sudah
semangat datang ke rumah. Awalnya bilang bapaknya sudah pulang dari Entikong.
”Ada keluarga calon besan yang
datang bersama bapakku. Kau diminta mengantar mereka berkeliling kota dengan
sepit.” Demikian pesan bapak Andi tersampaikan. Aku menepuk dahi. Kenapa aku
yang harus repot? Kenapa tidak bapaknya saja yang mengantar.
Andi balas menepuk dahi. Bapaknya tidak bisa karena
besok mau ke Ketapang.
”Kita seharusnya tersanjung mendapat
tugas negara seperti ini, Borno, demikian pesan bapakku.” Aku
tertawa.
”Bagaimana si ‘sendu menawan’ kau?
Sudah tahu namanya?” Aku menggeleng jengkel. Baru malam lalu kami membahasnya, juga
malam sebelumnya, malam sebelum-sebelumnya lagi, tidak bosan-bosan dia.
”Astaga? Kau belum tahu namanya
juga?” Andi berseru tidak percaya.
”Kau hari ini bertemu dengannya di
dermaga?” Andi mengganti pertanyaan. Aku menggeleng. Andi manggut-manggut.
”Ya sudahlah. Kalau begitu, aku
pamit pulang. Ingat, besok jam sembilan lepas, Borno. Kau jemput mereka di
hotel dekat bioskop.” Andi santai melambaikan tangan.
Bangun pagi, yang pertama kali kupikirkan
bukan soal pesan bapak Andi. Itu bisa diurus nanti-nanti setelah aku menyelesaikan
satu rit. Aku memikirkan antrean sepit nomor tiga belas. Aku tersenyum riang.
Nah, satu penumpang naik, dua, tiga, hanya soal waktu gadis itu akan naik ke
sepitku.
”Selamat pagi. Wah, ketemu lagi
dengan Bang Borno,” gadis itu menyapaku. Gadis itu tersenyum, lantas duduk di
kursi papan melintang paling belakang.
”Jalan, Borno, jangan bengong macam
kesurupan si hantu Ponti!” petugas berteriak. Aku bergegas menggerakkan kemudi.
Sepitku meluncur ke tengah Kapuas.
”Susah tak mengemudikan sepit,
Bang?” gadis itu bertanya.
”Eh? Apa?” Aku berseru.
”Susah tak mengemudikan sepit?” dia
mengulang.
”Oh, itu, ini mesin motor pembakaran
dalam, internal combustion engine.
”Bebalnye. Kau tak menjawab
pertanyaan, Borno.” Ibu-ibu PNS memotong.
”Dia bertanya soal mudah tak mengemudikan
sepit, bukan pelajaran tentang mesin. Kuping kau ditaruh di mana?” Aku
tersengih merah. Gadis itu anggun menutup mulut menahan tawa. Curi-curi
pandang, melirik raut wajahnya, melihat tawa renyahnya, itu sungguh lebih dari
cukup. Sudah membuat pagiku terasa indah nian. Sayang, kesenangan itu terputus,
dermaga seberang sudah dekat. Aku mengurangi kecepatan, dan satu menit kemudian
sepit merapat pelan ke bibir dermaga.
” Terima kasih, Bang.” Gadis itu
melangkah ke papan dermaga.
”Sama-sama.” Aku berusaha memasang
wajah lurus bagaimanalah mau tersenyum, ibu-ibu berseragam PNS itu sedang memelototiku,
seperti melihat laki-laki bajingan saja.
Andi marah-marah. Gara-gara
kebanyakan melamun dirubung senyum sendiri di dermaga kayu, aku lupa tugas dari
bapaknya.
”Jam sembilan, Borno. Sudah kubilang
dua kali tadi malam.” Dia bersungut-sungut.
”Lah, sembilan lewat 59 menit juga
jam sembilan, bukan?”
Andi menyikut lenganku, menunjuk
lobi hotel, rombongan yang hendak dijemput terlihat celingukan. Tidak ada mobil
hotel yang bisa mengantar, Andi mencarter opelet menuju dermaga sepit.
”Hari ini Bapak-Ibu nak melihat
ape?” Andi meniru-niru gaya guide profesional.
”Kita ke mana, Borno? Ke pabrik karet
tua? Atau ke rumah walet berhantu itu saja?”
Istana Kadariah, itu pilihanku. Rombongan
itu berseru-seru senang saat melihat atap istana dari kejauhan. Aku mendengus
ke arah Andi, seolah berkata
”Lihat, pilihanku tepat, bukan? Hanya
kita-kita saja yang setiap hari melewatinya merasa bangunan ini jamak adanya.
Tapi bagi turis, istana ini amat menarik.
”Ya sudah, kau tunggu di sini.
Jangan ke mana-mana.” Andi berlalu.
Sebenarnya aku sedang gugup.
Lihatlah, tidak jauh dari sepitku, tertambat fiberglass boat berwarna putih
itu. Kepalaku berpikit cepat, kalau ada boat ini, jangan-jangan gadis itu ada
di sekitar sini? Aku melangkah mendekati boat.
”Abang Borno?” Kakiku hampir
terpeleset, bergegas berpegangan di pagar boat. Gadis itu sempurna sudah
berdiri di belakangku.
”Eh, kau?” Hanya itu yang keluar
dari mulutku. Sial, kenapa aku jadi gugup begini? Bukankah aku tadi berharap
bertemu dengannya?
”Abang mau ke mana?” Gadis itu
tersenyum.
”Mencari kau... eh bukan, maksudku
mencari tahu secanggih apa kapal ini. Kau ingat,
internal combustion engine macam itulah.” Aku tertawa
tanggung, menunjuk-nunjuk fiberglass boat, menyumpahi mulut yang salah ucap.
”Bang Borno kenapa ada di sini?
Tidak narik?”
”Eh iya, eh tidak.” Aku menggaruk
kepala.
”Abang bawa sepit kemari?” Syukurlah,
gadis itu mengerti bahasa anehku. Aku mengangguk, menunjuk dermaga.
”Nah, Abang belum menjawab
pertanyaanku tadi pagi, bukan?”
”Pertanyaan apa?” Aku menelan ludah,
ikut naik ke sepit.
”Seberapa sulit mengemudikan sepit,
Abang?” gadis itu mengingatkan.
”Gampang.”
”Abang mau mengajariku?” Aku menatap
gadis di hadapanku. Dia tersenyum, rambut
tergerai di bahu. Ibu, apa yang dia bilang barusan?
Mengajarinya mengemudi sepit? Siapa yang akan menolak?
Malamnya, Andi mengamuk. ”Kata
bapakku, kau bisa membahayakan perdamaian dua negara,” ketus dia padaku.Aku
tertawa.
”Sebenarnya apa yang terjadi sampai
kau tega membawa sepit pergi begitu saja dari dermaga istana, hah?” Andi
mendengus, matanya menyelidik. Itu pasti kejadian luar biasa sampai Borno yang
terkenal lurus perangai mau melakukannya. Aku mengangkat bahu, tertawa lagi.
”Kulihat kau tadi putar-putar di
Kapuas bersama seorang perempuan, Borno. Dia mencarter sepit kau?” Setelah
keributan di balai bambu agak reda, aku dan Andi berhasil dilerai, Jauhari yang
baru bergabung justru santai bertanya. Dan akhirnya semua orang sekitar tau
bahwa aku sedang dekat dengan seorang gadis.
Bab8
Pagi hari aku
berkunjung ke rumah Pak Tua. Aku mengantarkan makanan dari Ibu.
”Bagaimana kabar gadis
kau itu?”
”Gadis apa?””Ah, kau jangan macam
kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Gadis mana lagi? Gadis yang
membuat kau selalu antre di nomor tiga belas. Coba, berapa kali kau menggeser
posisi sepitku?” Wajahku memerah.
”Nah, agar cerita kau ini lebih enak
didengar, boleh aku tahu siapa nama gadis itu?” Pak Tua melumuri tangannya
dengan jeruk nipis.
” Tidak tahu.” Aku menelan ludah.
”Astaga, bagaimana mungkin gadis
secantik itu bernama ‘tidak tahu’?” Pak Tua pura-pura memasang wajah bingung tentu
saja dia menggodaku, bukan salah paham atas jawabanku.
Aku tertawa
kecut. Siapa nama gadis itu? Aku tidak tahu.
”Kau tahu, Borno, aku punya kenalan,
semua anaknya diberi nama sesuai bulan kelahiran. Karena semua lahir di bulan
yang berbeda, maka bayangkan, ada yang bernama Januari, Februari, hingga
November dan Desember. Untung saja anaknya tidak tiga belas.” Pak Tua tertawa,
santai meluruskan kaki di kursi. Aku ikut tertawa. Urusan nama
gadis itu yang masih misterius, membuatku dan Pak Tua tanpa sengaja malah asyik
membicarakan topik yang sama. Hingga malam semakin larut, Pak Tua butuh
beristirahat, aku pamit.
Esok hari, kali ini perhitunganku
sempurna tepat. Sepit antrean nomor tiga belasku merapat persis ketika gadis itu
berdiri paling depan di dermaga.
”Pagi, Abang.”
”Pagi.” Aku memasang senyum terbaik
abad ini.
”Aku selalu bertanya-tanya, kenapa
ya beberapa hari terakhir, selalu sepit Abang yang kunaiki?” gadis itu bertanya
setelah duduk rapi di papan melintang dekat buritan.
Aku gelagapan. ”Eh, iya ya. Itu juga
jadi pertanyaanku. Kenapa ya?” Aku buru-buru memasang wajah ingin tahu.
”Jalan, Borno. Sudah penuh. Woi,
satu sepit lagi maju!” Aku bergegas menggerakkan tuas kemudi, sepit seperti
seekor angsa, meluncur anggun meninggalkan dermaga kayu. Sedari tadi aku
meneguhkan hati ingin bertanya tentang sesuatu.
”Eh, nama.” Akhirnya kalimat itu
terlontarkan. Lengkapnya maksud ucapanku, ”Nama kau siapa?” Apa daya, ujungnya
hilang oleh rasa gugup.
”Nama?” Gadis itu mengangkat
kepalanya.
”Eh, iya, nama, kamu tahu kalau ada
orang yang bernama Rabu Kliwon?” Aku salah tingkah, bergegas mengambil ide percakapan
apa saja yang melintas di kepala.
”Yah, itu nama temanku waktu SMA
dulu. Lucu sekali, bu-kan?” Aku tertawa kecil, mencoba mengeluarkan lelucon.Gadis
itu sudah bersiap turun dari sepit.
”Namaku Mei,” gadis itu berkata
pelan sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
”Eh? Apa?” Aku menatap gadis itu,
belum mengerti.
”Namaku Mei, Abang.” Gadis itu
beranjak berdiri.
”Meskipun itu nama bulan, kuharap
Bang Borno tidak menertawakannya. Terima kasih buat tumpangannya.” Alamak?
Tinggallah aku ternganga macam orang sakit gigi di buritan perahu.
Ketika melintas di dermaga kayu,
petugas timer meneriakiku,
”Woi, Borno, ada pesan buat kau!” Aku
segera memutar balik sepit yang telanjur melaju dari dermaga.
”Pesan apa?” aku bertanya dari
buritan perahu
”Ini, ada surat buat kau.” Petugas
timer menyerahkan lipatan kertas.
”Surat? Dari siapa?” Aku menerima
lipatan kertas itu. Petugas
timermenggeleng. ”Mana kutahu? Tadi anak berseragam SD
yang antar.”
Untuk Abang
Borno yang baik—meski baik tapi kadang suka
sok lucu, sok kenal, sok dekat. Kalau Abang tetap bersedia mengajariku
mengemudikan sepit, besok pukul sembilan jemput aku di dermaga Istana Kadariah.
Jangan telat dan jangan pula datang lebih cepat. Mei.
Tulisan di surat itu pendek saja,
tapi cukup membuat tepian Kapuas seketika seperti diterangi seribu lampion,
suara burung terasa jadi orkestra, dan hatiku rasa-rasanya mengambang terbang
oleh perasaan senang. Ah, ini ada tambahan pesan di bawahnya:
Nb: Abang
harus tahu, lebih jarang orang bernama Sumatra, Jawa, Sulawesi, atau Kalimantan
dibanding nama-nama bulan. Jadi, sebenarnya lebih aneh nama ”Borno”, apalagi
e-nya hilang gara-gara orang lebih mudah memanggil ”Borno” dibanding ”Borneo”.
Sampai ketemu besok siang, Abang Borno alias Abang ”Kalimantan” alias Abang
”bekas sungai”.
Bab9
Esok harinya, baru pukul empat pagi
buta, pintu rumah Ibu digedor-gedor. Siapa pula sedini ini sudah jail bertamu?
Tega memutus mimpi asyikku.
”Pak Tua, Bu! Pak Tua ditemukan
pingsan di depan rumah-nya, Bu!” Teriak Lai, tetangga Pak Tua.
”Borno, bergegas hidupkan sepit
kau!” Ibu sudah meneriakiku.
Aku bergegas melempar sarung, menerobos
pintu, menuruni anak tangga, lompat ke tambatan sepit di tiang rumah. Suara mesin
langsung menggerung.
Tiba di rumah Pak Tua, sudah ada Koh
Acong. Dia terlihat menggelengkan kepala, sama cemasnya. ”Tidak akan sempat,
kita akan terlambat kalau menunggu dokter. Kau bawa sepit, Borno?” Aku
mengangguk.
”Kita bawa segera ke rumah sakit
umum.” Koh Acong membuat keputusan. Dalam hitungan detik, sepit meluncur cepat
ke dermaga terdekat dari rumah sakit.
Pukul sembilan, beberapa pengemudi
sepit datang membesuk. Mereka menanyakan kondisi Pak Tua. Aku menggeleng, belum
tahu, belum ada kabar dari dalam ruangan.
Aku teringat sesuatu. Mei? Aduh,
bukankah...? Aku benar-benar baru ingat sekarang.
”Ada apa, Borno?” Koh Acong
bertanya.
”Aku harus segera pergi, Koh.” Aku
menepuk dahi. Bagaimana aku sampai lupa? Mei menunggu di Istana Kadariah pukul
sembilan persis.
Halaman luas Istana Kadariah lengang.
Tidak ada tanda-tanda dari Mei, sepertinya dia datang, tapi pergi karena aku
tak kunjung muncul. Aku memutuskan untuk pergi ke yayasan tempat Mei mengajar.
Aku pun mendapatkan alamat rumah Mei dari Ibu Kepala yayasan.
Pukul empat sore, dua jam dari
gedung yayasan, langit-langit kota masih terasa gerah.
”Nah, ini dia alamat yang kaucari,”
sopir opelet berseru ke belakang.
”Tidak salah lagi, Pak?” Aku menatap
rumah dengan halaman luas.
” Tidak ada lagi nama jalan itu
selain yang ini di kota Pontianak.” Aku turun.
Aku menatap rumah di hadapanku.
Amboi, aku menelan ludah, apa aku tidak salah alamat? Alangkah besar rumahnya!
Pintu pagar tidak dikunci, aku menggesernya, melangkah masuk. Aku sudah di depan
pintu. Tanganku baru terjulur separuh, hendak mengetuk.
”Abang Borno?” Gadis itu keluar
sambil menyeret koper, kaget bercampur bingung.
”Mei?” Aku menelan ludah.
”Apa yang Abang lakukan di sini? Tadi
di dermaga, beberapa pengemudi sepit bilang kalau Pak Tua masuk rumah sakit.
Kupikir Abang lebih memilih menemani Pak Tua dibanding mengajariku mengemudikan
sepit. Jadi aku memutuskan pulang dari Istana Kadariah, tidak menunggu lama.”
”Aku, aku sebenarnya ke Istana
Kadariah.”
”Abang ke sana? Aduh, maaf.” Wajah
gadis itu sedikit berubah.
”Sebenarnya, sebenarnya aku yang
hendak minta maaf. Baru datang ke Istana Kadariah setengah dua belas. Dari pagi
aku mengurus Pak Tua, lupa kalau ada janji denganmu. Aku pikir kau bakal marah,
jadi kuputuskan mencari tahu alamat rumahmu, untuk minta maaf.” Gadis itu
terdiam sejenak, lantas tertawa.
”Kau hendak ke mana?” aku bertanya
setelah diam sejenak.
”Surabaya, Abang. Nah, itu mobil jemputannya
datang.”
Aku menatap bergantian, koper, mobil
hitam mengilat yang masuk ke halaman, dan wajah gadis itu. Aku tidak tahu harus bilang apa. Gadis itu masuk
ke dalam mobil.
”Nah, aku harus bergegas. Sampai
ketemu lagi, Bang Borno.”
” Tunggu!” aku akhirnya membuka
mulut, berseru pelan.
”Iya?” Gadis itu menatap dari dalam
mobil.
”Eh, kapan, kapan kita bisa bertemu
lagi?” Aku menelan ludah.
”Semoga dalam waktu dekat, Abang. Nah,
aku harus segera berangkat. Tetap semangat menarik sepit, Abang.” Hanya itu pesan terakhir Mei.
Selepas kalimat itu, Mei melambaikan
tangan. Mobil bergerak meninggalkan halaman
rumah, meninggalkanku yang berdiri mematung.
Bab 10
”Ini motor tempel siapa?” Aku ikut
jongkok, di depan Andi yang sedang mengutak-atik mesin. Aku sedang malas
menarik sepit, lalu memutuskan mampir ke bengkel Andi.
”Milik Bang Jau.” Andi menjawab
sekilas
”Kau salah melepasnya, Andi.
Terbalik.” Bapak Andi, yang sejak tadi mengawasi pekerjaan Andi, menunjuk
onderdil motor tempel yang hendak dilepas.
”Apanya yang rusak?” Lima menit
hening, aku bertanya.
”Belum tahu,” Andi menjawab ketus. Aku
menyeringai, bapak Andi juga terlihat menyeringai mungkin bosan melihat anaknya
masih berkutat menganalisis, mendiagnosis kerusakan, tanpa kemajuan berarti.
”Kalau mogok, biasanya ada
hubungannya dengan bahan bakar atau pemantik mesinnya,” aku menceletuk.
”Kau jangan sok tahu.” Andi
meremehkan.
Namun bapak Andi tidak, dia menatapku.
”Dari mana kau tahu soal itu?”
”Dari buku panduan motor tempel yang
diberikan Pak Tua.”
Bapak Andi manggut-manggut. ”Nah,
kau dengar apa kata Borno. Jangan malah memeriksa propeler dan sebagainya.
Tidak nyambung.” Andi merengut, melirikku sebal, sekilas melirik bapaknya
takut-takut.
”Mungkin fuel pumpnya.” Aku menunjuk
bagian pompa bahan bakar.
”Kau jangan merecoki terus, Borno,”
Andi berkata ketus.
Namun, bapak Andi menatapku
antusias. ”Dari mana kau tahu soal itu?”
”Eh, hanya menebak, Daeng. Dulu
pernah lihat-lihat Bang Togar memperbaiki mesin. Lagi pula Pak Tua pernah
bilang, logika mesin itu sederhana. Jadi, kupikir kalau dia mendadak mogok,
boleh jadi fuel pumpnya kotor, filternya rusak.”
Bapak Andi berbinar-binar. ”Kau
berbakat, Borno. Astaga! Ke mana saja kau selama ini?” Lantas menepuk-nepuk
bahuku.
”Hanya sedikit orang yang belum
pernah belajar tentang mesin secara
mendalam bisa menyimpulkan masalah motor tempel ini hanya dengan melihat
selintas.” Aku terdiam. Aku bergantian menatap wajah bapak Andi yang semringah,
seperti menemukan ”bakat terbesar” dalam hidupnya, dan menatap wajah Andi yang
macam kepiting rebus.
Bab 11
Pagi pukul 7.15, aku mengetuk pintu
depan. Aku menjenguk Pak Tua.
”Masuk, Borno. Tidak dikunci.” Suara
berat khas itu terdengar.
”Sarapan tiba.” Aku menyeringai.
”Kau bawa apa hari ini?”
”Sayur bayam dan bening tahu, Pak.”
”Aku bosan, Borno.”
”Sebenarnya aku juga bosan setiap
hari mendengar keluhan Pak Tua soal makanan.” Aku tertawa, melangkah ke dapur.
”Kita sudah bersepakat, mematuhi
diet dokter.”
”Ya, ya, tidak ada kompromi, tidak
ada pengecualian,” Pak Tua meneruskan kalimatku. Hari kelima belas, Pak Tua boleh
pulang. Aku tertawa lebar, berita ini sedikit-banyak berhasil mengusir pikiran
tentang Mei. Kepulangan Pak Tua bahkan menjadi kabar bahagia. Rumahnya ramai oleh
kunjungan, makanan, dan buah tangan.
Suatu malam aku dan Andi berkunjung
ke rumah Pak Tua. Pak Tua bercerita.
” Tersebutlah dua anak manusia,
sebut saja mereka si Fulan dan si Fulani, kenal satu sama lain sejak masih
merah dalam gendongan. Orangtua mereka sahabat dekat, bertetangga rumah dan
berbagi banyak hal. Mereka berada di lingkungan peperangan di Surabaya. Dan
orang tua mereka meninggal, Si Fulan dan Si Fulani menjadi anak yatim. Mereka
sempat terpisah, bahkan keduanya pernah dipenjara karena dituduh terlibat
dengan PKI. Akhirnya mereka bisa bertemu kembali dan hidup bahagia. Yang paling
menandakan kehebatan mereka adalah mereka berdua sejaklahir dalam kedaan buta.”
Bab 12
Sepagi ini aku sudah pergi ke
dermaga. Mengemudi sepit seperti biasa.
”Kau memang tidak cocok jadi
pengemudi sepit, Borno.” Jauhari memecah bengong.
Aku menoleh. Tidak mengerti.
Jauhari mengangkat bahu. ”Lihat, kau
masih muda, punya banyak kesempatan. Kau lebih cocok jadi karyawan misalnya, atau
malah pemilik bengkel besar.”Aku tertawa.
”Maju lagi satu sepit, woi!” petugas
timerberteriak. Giliranku sekarang.
”Nah, pemilik bengkel besar mau
narik dulu, Bang.” Aku menyeringai pada Jauhari.
Giliran Jauhari yang tertawa. Ini sudah minggu kedua
aku belajar jadi montir.
”Menakjubkan. Kau berbeda dengan
kebanyakan montir, Borno.” Demikian
komentar bapak Andi.
”Kau memperlakukan mesin dengan sederhana.
Kau tampaknya sudah sedemikian rupa paham, terberikan begitu saja. Memang
montir baik selalu begitu, tidak asal bongkar.” Ujung bibir bapak Andi menunjuk
Andi yang sedang jongkok di sebelahku.
Setelah enam bulan
sejak Mei pergi, ini sungguh kabar hebat. Aku akan pergi ke Surabaya menemani
Pak Tua untuk mengikuti pengobatan alternatif. Sebelum pergi, aku sempat
meminta alamat Mei di Surabaya kepada pembantu Mei di Pontianak. Namun ia tidak
bisa memberikannku alamatanya.
Bab 13
Kapal merapat di Tanjung Perak,
Surabaya, pagi buta hari kedua. Setibanya di Surabaya, kami menaiki taksi dan
pergi ke sebuah penginapan. Aku menemani Pak Tua berobat. Aku mendapati buku
telepon seluruh warga Surabaya di ruang tunggu. Sambil menunggu, aku iseng
mencarai nomor telepon yang mungkin saja nomor Mei. Berulang kali ku coba.
Namun selalu saja gagal.
Tiga jam berlalu, tinggal hitungan
jari nama yang belum kucoret. Aku sudah dua kali menukar uang logam pada
petugas parkir, dihitung-hitung koin keberuntunganku tinggal sembilan. Aku
merangkai doa ke langit-langit kota, memasukkan koin berikutnya. Tidak dikenal.
Koin berikutnya. Tidak ada yang bernama Mei. Koin berikutnya. Bahkan tidak ada
yang bernama Sulaiman. Koinku masih tersisa satu, tapi daftar itu akhirnya
habis ku coret. Aku menghela napas kecewa
Bab 14
Seperti biasa aku menemani Pak Tua.
Kali ini kami lancar menumpang angkot. Pak Tua langsung masuk ruangan terapi.
Aku tidak tahu persis bentuk terapi alternatif yang dijalani Pak Tua. Semalam aku
tidak sempat mengobrol atau bertanya. Bukan karena Pak Tua sebal gara-gara
kutinggal pergi di ruang tunggu, tetapi karena dia langsung tertidur kelelahan
usai mandi dan makan malam.
Di ruang tunggu, aku langsung
meminjam buku telepon. Ternyata yang namanya Sulaiman, ada juga yang memakai
huruf “oe”, Soelaiman. Akhirnya aku pergi ke tempat telepon umum. Aku berdoa
saat mulai menekan nomor pertama, semoga hari ini berhasil. Nada panggil sejenak, telepon diangkat.
”Halo, apakah ini kediaman Bapak
Sulaiman?”
”Iya benar. Mau bicara dengan siapa
ya?”
”Bisa bicara dengan Nona Mei?”
”Mei? Sebentar ya.”
”Abang Borno?” Alamak? Aku tersedak
oleh panggilan itu.
”Apa yang Abang lakukan di sini? Ya
ampun, benar-benar kejutan.”
Itu sungguh bukan suara di gagang
telepon suara di telepon justru ”Halo? Halo?” bingung karena tidak ada yang
menyapa balik. Aku sedang membeku, lihatlah, gadis penyebab semua tingkah
bodohku dua hari terakhir telah berdiri anggun di hadapanku, mendorong kursi
roda dengan ibu-ibu tua di atasnya.
”Mei?” Hanya itu responsku setelah
sepuluh detik mematung,.
”Aku baru tahu, sejak kapan Abang
jadi petugas penerima telepon di sini? Sepit di Pontianak ditinggal?” Mei
tertawa renyah, bergurau.
”Eh, aku? Aku sedang menelepon kau,
eh, maksudku meminjam telepon saja.Aku bergegas menutup buku telepon, celaka
kalau dia melihat halaman dengan nama Soelaiman.
”Sejak kapan Abang ke Surabaya?
Kenapa tidak bilang-bilang?”
Aku mendesah. Aku justru sedang
berusaha bilang, salah siapa dulu tidak meninggalkan alamat.
”Pak Tua, eh, aku menemani Pak Tua
terapi asam urat. Sudah dua hari.”
”Oh, Pak Tua.” Gadis itu tersenyum,
mengangguk.
Aku melihat Mei sedang mendorong
nenek tua yang duduk di kursi roda. Ternyata neneknya juga sedang mengikuti
pengobatan juga seperti Pak Tua. Aku, Mei, dan Pak Tua pun bertemu.Kami
berencana untuk pergi jalan-jalan di Surabaya esok hari.
Bab 15
Esok harinya, janji pelesir keliling
kota. Mei tiba pukul delapan, saat aku dan Pak Tua sudah selesai sarapan. Dia
membawa dua payung besar.
”Minggu-minggu ini Surabaya sering
hujan, Pak Tua.”
Kami naik angkot. Tujuan kami adalah
Jembatan Surabaya Madura, Kota Tua, dan Mesjid Laksaman Cheng Ho.
”Pak Tua hendak ke mana sekarang?”
Mei bertanya.
”Jembatan Merah? Grahadi? Kota Tua?”
Pak Tua menggeleng. Dia perlahan meraih selembar kertas kecil dari saku celana,
menyerahkannya pada Mei.
”Kau bisa mengantarku ke alamat
ini?” Mei membaca sejenak, bergumam.
”Aku belum pernah ke lokasi ini,
Pak.”
”Tapi kau tahu arahnya, bukan?”
Mei mengangguk. ”Bisa dicari.” Pak
Tua tersenyum takzim.
”Nah, mari segera berangkat. Aku ingin
menghabiskan sisa hari ini di sana.”
Setengah jam naik angkot ketiga,
tibalah kami di perkampungan itu. Pak Tua benar. Andai saja Andi ikut, dia juga
akan senang berkunjung kemari.
Pak Tua melintasi halaman luas
dengan rumput terpangkas rapi macam beludru hijau, pohon cemara berjejer.
Bagian depan rumah yang kami kunjungi ramai oleh anak-anak yang sedang bermain
musik.
Seseorang sebaya Pak Tua, mengenakan
kacamata biasa, kalian tidak akan menyangka dia buta. Dia menyentuh bahu,
leher, dan wajah Pak Tua, meraba-raba. Pak Tua membiarkan, tersenyum malah.
”Hidir... Astaga, kaukah itu Hidir?”
Tuan rumah menepuk dahi.
”Benar. Ini aku.” Pak Tua tertawa,
tongkatnya terlepas. Dia ber anjak memeluk sahabat lamanya erat sekali, tidak
peduli tampias mengenai rambut putihnya.
”Siapa yang datang?” Wanita tua juga
sebaya dengan Pak Tua, mengenakan kacamata, ikut mendekat dari arah kerumunan anak-anak
yang bermain musik. Patah-patah melangkah dengan tongkat.
”Hidir. Hidir yang datang.”
”Hidir? Hidir siapa? Ya Tuhan,
kaukah itu Hidir?” Wanita tua itu berseru tertahan, dan tanpa menunggu lagi,
sudah meraba-raba ke depan, berusaha menyentuh wajah Pak Tua.
Bertiga mereka sekarang berpelukan.
Bahkan, sumpah, aku sekilas bisa melihat mata Pak Tua berkaca-kaca.
”Sebentar, sebentar,” wanita tua itu
menoleh ke arah kami,
”Kau tidak datang sendirian, Hidir?
Siapa yang kau bawa? Bukankah kau hidup membujang? Jangan-jangan kau menikah
tanpa bilang pada kami?” Pak Tua terkekeh.
”Perkenalkan, mereka kawan baikku.
Ayo, Borno, jangan macam patung kehujanan, masuk ke sini. Borno ini sudah
kuanggap lebih dari anak di Pontianak, yang satu lagi adalah Mei. Gadis yang
berbaik hati mengantar kami. Tanpa bantuannya, boleh jadi aku tersasar. Kami
pun saling berbagi cerita pengalaman. Rasa bahagia tak terkira bisa
berjalan-jalan dengan Mei dan menyaksikan cerita cinta dari Pak Tua yang
benar-benar ada.
Aku mengantar Mei pulang. Malam
itulah, untuk pertama kalinya aku menyadari, Mei
datang dari keluarga yang amat berbeda denganku. Aku
sudah duduk di ruang tamu. Terlihat seorang laki-laki.
”Selamat malam, Om,” aku segera
menyapa sesopan mungkin.
”Kau siapa?” suara beratnya bertanya,
tidak menjawab salam-ku.
”Eh, teman Mei,” aku menjawab
ragu-ragu. Laki-laki itu menatapku tajam.
”Aku tidak suka kau ada di sini,”
laki-laki itu berkata tanpa basa-basi.
”Eh, maaf, Om?” Aku tambah gugup,
memastikan tidak salah dengar.
”Kau seharusnya tidak mengantar Mei
pulang.” Tatapannya semakin tajam.
”Kau hanya akan membawa pengaruh
buruk bagi Mei.” Aku membeku, bibirku seperti distaples, kelu. Satu menit
berlalu tanpa suara. ku mendesah pelan, apalah dosaku? Apa aku berniat jahat? Aku
bukan seperti Pak Tua yang bijak. Aku juga tidak seperti almarhum Bapak yang
pahit getir di akhir hidupnya tetap memiliki kebaikan. Aku sekadar Borno, anak
muda usia dua puluh dua, tidak berpendidikan tinggi, hanya pengemudi sepit.
Bab 16
”Bagaimana semalam?” Pak Tua
bertanya saat sarapan.
”Bagaimana apanya?” Aku mengunyah
nasi goreng gila ala Surabaya.
”Astaga, apanya? Mengantar Nona Mei
lah.” Pak Tua melambaikan tangan, tertawa.
”Biasa saja. Bukankah Pak Tua
sendiri yang menyuruhku segera pulang.”
”Maksud orang tua ini, bisa kauceritakan
bagaimana di taksi? Apakah kalian diam-diam saja? Bagaimana rumah Mei? Kau sempat
bertemu anggota keluarganya? Ayolah.”
”Biasa saja.” Aku menggeleng. ”Kami
lebih banyak diam di taksi. Di rumahnya aku mampir sebentar, Mei meminjamkan kaus,
lantas pulang. Hanya itu.”
” Dipinjami kaus? Amboi!” Pak Tua
tetap antusias, sengaja tidak peduli dengan ekspresi wajahku yang tidak
berselera cerita. “Sudahlah, kalau kau enggan bercerita, tidak usah
dipaksakan.” Aku tidak berkomentar.
Esok paginya, lepas
sarapan, aku berangkat membeli tiket. Kalau tidak salah, hari ini jadwal
Mei mengantar neneknya. Aku akan menemui Mei, hanya hendak bilang nanti sore kami pulang ke
Pontianak. Di tempat pengobatan, kami pun bertemu.
”Bagaimana kabar Pak Tua? Kemajuan
terapinya?”
”Baik. Baik sekali malah,” aku
menjawab pendek. Lengang sejenak. Kami berdiam diri, aku menatapnya.
”Apa?” Wajah Mei bersemu merah.
” Tidak apa-apa.” Wajahku ikut
memerah. Baiklah, urusan ini, lebih cepat lebih baik.
”Eh, nanti sore aku dan Pak Tua
kembali ke Pontianak.” Mei menatapku lamat-lamat.
”Pulang?” Aku mengangguk. ” Terima
kasih banyak sudah menemani kami jalan-jalan keliling Surabaya.” Aku
menjulurkan bungkusan plastik yang kubawa sejak tadi. Dan aku berpamitan pada
Mei sambil menyerahkan kaos yang ia pinjamkan. Selamat tinggal Mei.
Bab 17
Selamat pagi, Pontianak! Aku
merapatkan sepit ke dermaga. Segera dahiku terlipat, entah hendak tertawa atau
bingung. Alamak, apa yang telah terjadi selama aku ke Surabaya? Ada beberapa
kejutan. Pertama, Bang Togar yang membuat peraturan baru bagi pengemudi sepit.
Peraturan itu diantaranya, adanya SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) semiggu sekali
dan larangan merokok saat mengemudikan sepit. Kejutan kedua, kabar burung itu
ternyata benar. Urusan rumah tangga Bang Togar genting.
Sore, setelah mengantar karpet besar
untuk Cik Tulani dan Koh Acong, Ibu justru rusuh menuruni anak tangga.
”Kau antar aku segera ke rumah
Togar.” Saat tiba, rumah Bang Togar sudah ramai, beberapa tetangga berkumpul,
berbisik, menghela napas prihatin.
”Kau memalukan, Togar. Sungguh
memalukan seluruh keluarga kita.” Ibu tanpa tedeng aling-aling menunjuk wajah
Bang Togar. Meski Bang Togar selalu membuatku sebal, aku kasihan juga melihatnya.
Sepertinya hari ini saja sudah ada beberapa yang mengomel padanya. Ada Koh
Acong dan Pak Tua di beranda depan.
Sore hari, hampir gelap tepian
Kapuas, selesai Ibu mengomel, giliran Bang Togar yang dibawa pergi dua polisi.
Keluarga Kak Unai melapor. Tidak perlu ahli hukum, kasus ini jelas kena pasal
kekerasan dalam rumah tangga.
Padahal kisah cinta Bang Togar dan
Kak Unai sangatlah hebat. Bang Togar menikahi Kak Unai yang merupakan putri
dari kepala suku pedalaman. Ia sampai rela tinggal di perkampungan suku selama
sebulan untuk membuktikan rasa ctanya yang sempat diragukan oleh ayah Kak Unai.
Aku benar-benar merasa kasihan.
Tak terasa hari-hari aku leawti
tanpa Mei. Aku terjatuh sakit, beberapa hari kemudian, saat tubuhku
berangsur-angsur pulih, tiba-tiba dari jauh, tergopoh-gopoh Andi memanggilku.
”Aku melihatnya... aku melihatnya di
dermaga kayu, Borno.” Andi berusaha menghirup udara segar, bungkuk memegang
tiang rumah.
”Melihat apa? Pucat pasi begini, kau
habis melihat si hantu Ponti?”
”Aku melihatnya. Aku melihat si
sendu menawan naik sepit di dermaga.”
Bab 18 (254)
Tidak sesuai harapan, bukannya
berempati, Pak Tua malah terpingkal-pingkal mendengar ceritaku.
”Kau benar-benar dikerjai Andi.
Astaga, berarti selama ini aku keliru
menilai Andi sebagai banyak omong. Ternyata dia cerdas dan bernas. Andi membuktikan dia adalah teman sejati kau.”
Aku mendengus, apanya yang teman
sejati? Kalau Pak Tua melihat bagaimana ekspresi wajah tak berdosa Andi di
dermaga, mungkin Pak Tua akan setuju denganku.
Tadi pagi, saat mendengar Andi
bilang Mei telah kembali, aku sontak loncat. Sial sarungku terpintal kursi, aku
jatuh terguling. Tidak mengapa. Meski lututku terasa ngilu, aku berusaha
bangun, bergegas. Aku terburu-buru menghidupkan mesin.
Motor tempel meraung kencang saat kutarik pol gasnya.
Empat menit tiga belas detik, sepit
merapat, aku loncat tak sabaran ke atas dermaga kayu, dan... Aku termangu
bingung, justru rombongan ramai tujuh-delapan orang segera mengerubungiku.
”Nah, ini dia Borno. Akhirnya datang
juga. Borno akan mengantar Encik sekalian berkeliling kota Pontianak, pelesir
seharian.” Bapak Andi memperkenalkanku.
”Ah, aku ingat siape dielah. Die nih
yang dulu meninggalkan rombongan kami di Istana Kadariah, bukan? Tak mau aku
kalau die pegi-pegitak keruan lagi.” Salah seorang anggota rombongan tertawa.
”Nah, Borno. Tolong kau antar
mereka. Kali ini bahkan ada yang datang dari Kuala Lumpur, mereka benar-benar
terpesona dengan Pontianak, datang dengan sanak kerabat. Ingat, Borno, tugas
negara, kau pahamlah maksudnya. Layani saudara satu rumpun ini dengan baik,”
bapak Andi sibuk berceloteh.
Aku mematung, wajahku menggelembung,
perlahan mulai mengerti apa yang telah terjadi. Astaga! Andi menjebakku. Andi
sialan!
Bab 19
Hari ini satu bulan sejak aku
berdamai dengan Andi. Pak Tua memberi kabar bahwa Bang Togar sudah dibebaskan.
Hatiku ikut senang mendengar hal iu. Namun Pak Tua berkata bahwa Bang Togar
bertingkah aneh.
”Cukup, cukup!” petugas timer berseru,
menahan penumpang berikutnya.
”Masih kosong satu, Om!” aku
mengingatkan petugas.
”Justru itu, cukup, jangan diisi
lagi.” Petugas timer menggeleng,
”Memangnya siapa yang mau naik, Om?”
aku ragu-ragu bertanya pada petugas timer, cemas dengan kemungkinan jawabannya.
”Ya siapa lagi? Dia sudah
mencari-cari kau.” Petugas timer tertawa.
Astaga, aku berjengit. Baiklah, aku
segera meraih kemudi sepit, bersiap menekan gas. Aku tidak mau bertemu Bang
Togar sekarang, setidaknya sampai kelakuan dia kembali normal. Mampus aku kalau
dicium-cium di dermaga ini.
”Woi, sabar, Borno!” Petugas
timeryang baru sadar apa yang akan kulakukan bergegas memegang ujung perahu
kayu. Menahannya.
”Aku berangkat saja, Bang. Tak
mengapa tak penuh!” Saat melihat ke belakang, aku berseru panik. Penumpang
spesial itu adalah Mei.
”Nah, akhirnya kutemukan kau di
sini, Borno.” Eh? Kenapa suara Mei jadi berat? Itu bukan suara
Mei. Itu suara Bang Togar. Bang Togar tiba-tiba sudah berdiri di sebelah
petugas timer, di depan Mei.Tubuh besar
itu sudah memelukku erat sekali, bagai pasangan kekasih yang lama tidak
berjumpa. Bang Togar mencium pipiku, mencium keningku, tidak peduli sepit jadi
oleng kiri-kanan, membuat penumpang tambah berseru-seru sebal.
”Aku minta maaf atas semua perangai
burukku selama ini. Kau tahu, selain pada Unai dan dua anakku, kau berada di
urutan pertama orang yang paling sering kuzalimi.”
Setidaknya ada hikmah tersembunyi
atas kelakuan ganjil bin aneh Bang Togar tadi. Rasa gugup setiap kali bertemu
Mei dikalahkan rasa jengah jadi tontonan massal. Hei, aku bisa tersenyum normal
pada Mei dan balas menatapnya.
”Abang lihat apa?” Mei menyengir,
berseru berusaha mengalahkan suara mesin dan gelembung air.
” Tidak lihat apa-apa.” Aku balas
menyengir. Kami tertawa.
”Apa kabar, Bang?” Mei bertanya.
”Buruk.” Aku pura-pura memasang
wajah buram. ”Siapa pun yang habis dipeluk-peluk Bang Togar pastilah buruk
kabarnya.” Mei tertawa, memperbaiki anak rambut di dahi.
”Kau apa kabar?” aku berseru,
bertanya. Hei, barusan aku ter nyata bisa bergurau dengan Mei, tidak grogi,
tidak malu-malu.
”Buruk.” Mei ikut memasang wajah
masam. Eh, aku melipat dahi. Buruk apanya? Dia terlihat sehat. Pagi ini cerah
wajahnya mengalahkan cerah kota Pontianak, sungguh.
”Siapa pun yang habis menonton dua
laki-laki dewasa berpelukan, berciuman di tempat terbuka, pastilah buruk kabarnya,
bukan?” Mei lantas tertawa.
Aku ikut tertawa. ”Enak saja.” Topik
Bang Togar yang baru keluar penjara lantas menjadi bahan pembicaraan hingga
sepit merapat di dermaga seberang. Penumpang melipat payung, meletakkan uang di
dasar perahu, berdiri, bersiap loncat ke dermaga.
Bab 20
Esok harinya, aku bersama Mei dan
penumpang lain duduk di atas sepityang melaju lambat, sengaja kulambatkan
karena aku butuh waktu lebih lama,
”Abang besok narik?” Aku mengangguk.
”Oh, aku kira abang libur kalau hari
Minggu.”Aku menggeleng.
”Padahal kalau Abang libur, siapa
tahu mau menemaniku keliling Pontianak.”
”Libur. Aku besok libur narik,”
bergegas kuanulir kalimatku sebelumnya.
”Baiklah. Besok pukul sembilan di
dermaga.”
”Sepakat,” aku menjawab mantap.
Hanya perlu bersabar, dan semua
skenario baik itu tercipta sendiri. Bukankah Pak Tua
pernah bilang, ”Ah, cinta selalu saja misterius.
Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.”
Bab 21
”Ku dengar besok kau mau pelesir
keliling Pontianak bersama pacar baru kau, Borno?” Cik Tulani bertanya santai
sambil menyerahkan tiga rantang makanan.
”Pacar baruku? Pelesir?” Aku hampir
tersedak. Dari mana Cik Tulani tahu urusanku itu? ”Kata siapa aku besok mau
jalan-jalan keliling Pontianak?” Intonasi suaraku menyanggah.
”Alamak, semua penghuni gang sempit
ini juga sudah tahu, Borno.” Cik Tulani tertawa. ”Kalau kau tak mau cerita, ya
sudahlah, sana bergegas.“ Aku menelan ludah. Sial, ini pasti ulah Andi. Dia
seperti ember, tumpah berceceran ke mana-mana rahasia orang. Semoga hanya Cik
Tulani yang tahu.
Prospek menghabiskan waktu seharian
bersama Mei adalah hal hebat yang pernah kuharapkan seumur hidup. Sejak semalam
aku sudah merancang lokasi apa saja yang akan kukunjungi, rute terbaik,
”Astaga!” Petugas timer setengah
tidak percaya. Bagaimana urusan ini, dari tadi tidak ada sepit yang mau narik,
tetap merapat di tonggak kayu antrean, sementara pengemudinya asyik duduk
menunggu.
”Enak saja dia suruh aku narik
sekarang. Aku tidak mau ketinggalan momen spesial saat akhirnya gadis itu
datang di dermaga.” Jauhari berbisik-bisik pada pengemudi sebelah.
”Aku juga.” Yang dibisiki menahan
tawa, balas berbisik.
”Aku ingin melihat wajah Borno memerah
malu ditimpa cahaya matahari. Tak bisa kubayangkan, akan seperti apa
tampangnya.” Kerumunan pengemudi sepit terbahak-bahak
Di luar masalah mereka, aku punya
masalah lebih serius. Ini sudah pukul setengah sepuluh, sudah ratusan kali
mataku melirik ke gerbang dermaga, sudah ratusan kali pula aku mendesah. Kenapa
Mei belum datang? Bukankah dia selalu tepat waktu?
”Borno, hei, mana gadis kau itu?”
salah satu pengemudi akhirnya bertanya.
”Iya, ini sudah setengah jam lewat.
Terlalu, dari tadi kami macam orang kurang kerjaan, duduk menunggu kau,” yang
lain menimpali, bersungut-sungut.
Aku sebenarnya hendak ketus
menjawab, Siapa suruh menunggu? tapi ada yang lebih kucemaskan, memikirkan
kemungkinan-kemungkinan. Aku tidak tahu apakah aku kecewa, sedih, atau malah
marah saat ini. Tidak ada, sekilas aku masih menyempatkan untuk terakhir
kali melirik pintu gerbang. Mei tetap tidak ada di
sana.
Bab 22
Sepulang dari dermaga, dengan sebal
aku mengempaskan pantat di bangku depan rumah. Baru saja menghela napas,
berusaha mengusir sesak, Ibu meneriakiku agar membeli keperluan rumah di toko
Koh Acong. Koh Acong sempat-sempatnya bertanya.
”Haiya, bukankah kau seharusnya
masih pelesir bersama gadis itu, ya?”
Aku mengangkat bahu, tidak berselera
menanggapi dan kembali ke rumah.
”Kau bergegas ke rumah Andi.”
Benar dugaanku. Wajahku meringis. ”
Tetapi sekarang hampir malam, Bu. Setidaknya aku mandi dulu dan beristirahat
sebentar.”
”Darurat, Borno.” Wajah Ibu tegas.
Aku menghela napas. Darurat apanya dengan si ember bocor itu? Sayangnya, aku
tidak pernah bisa membantah Ibu. Dengan wajah kusut, aku segera menghidupkan
sepit.
Andi sakit gigi. Itulah kode
daruratnya. Sepanjang hari sakitnya bertambah-tambah. Pipinya bengkak, mulutnya
bau, dan wajah Andi terlihat menyedihkan.
” Tolong antar dia ke dokter gigi di
seberang, Borno.” Bapak Andi menitipkan anaknya. Aku mengangguk.
Sial, solar sepitku habis di tengah
jalan—gara-gara kejadian tadi pagi, aku lupa. Sepitku merapat darurat di rumah
panggung Pak Tua, minta tolong padanya mengantar. Jadilah sekarang, aku dan Pak
Tua, menjelang magrib, pergi menemani Andi menuju tempat praktik dokter gigi.
Permukaan sungai terlihat berkilat-kilat.
Aku baru tahu bahwa tempat praktik dokter yang kami tuju punya dermaga kayu
sendiri. Andi bergidik, menatap orang-orang yang menonton keributan, menimbang,
akhirnya melangkah menuju meja pendaftaran. Kami duduk di bangku panjang
setelah mendaftar. Lama kami menunggu, antrean pasien panjang, dua jam berlalu
hingga akhirnya nama Andi dipanggil.
”Selamat malam.” Dokter gigi itu
tersenyum.
”Selamat malam, Bu Dokter.” Pak Tua
balas tersenyum.
Dokter tersebut terlihat sangan
riang dan cantik. Andi yang tadinya ketakutan mendadak bersemangat untuk
diperiksa. Setelah memeriksa Andi, doker tersebut menatap ku.
” Tidak salah lagi. Tadi sejak kau
masuk aku sudah merasa begitu kenal. Saat membersihkan karang gigi Andi,
berkali-kali aku melirik, aku merasa pernah melihat kau. Tidak mungkin salah
lagi.”
Dokter gigi itu bangkit dari
kursinya, melangkah patah-patah mendekatiku. ”Ya Tuhan, kita pernah bertemu di
lorong rumah sakit sepuluh tahun silam, Abang.”” Tahukah Abang, lama sekali
kami berusaha mencari tahu di mana Abang Borno selama ini. Sejak kejadian malam
itu, keluarga kami tidak pernah tahu di mana tempat tinggal keluarga yang telah
berbaik hati memberikan jantung untuk orang yang paling kami cintai.”
Aku menggosok dahi, menatap wajah
menangis yang tetap terlihat ceria di depanku. Wajah yang sekarang sibuk
menyebutnyebut rencananya, bertanya alamat kami, bilang akan berkunjung, bilang
inilah, itulah, semua kebahagiaan atas pertemuan malam ini.
Hanya satu orang yang ekspresi
wajahnya terlihat buruk. Kawan baikku Andi. Dia berdiri agak minggir di ruang
praktik, menonton seluruh kejadian dengan wajah seperti sedang sakit gigi tidak
tertahankan.
Bab 23
Kejutan besar juga menunggu di
rumah. Dari jarak dua puluh meter aku sudah bingung melihat rumah papan Ibu yang
tampak ramai malam ini. Ada beberapa orang yang kukenali dan tidak kukenali
terlihat di beranda.
”Nah, akhirnya orang yang kita
tunggu-tunggu datang. Kemari, Borno.” Bang Togar tertawa lebar. Aku mendekat, menggaruk kepala. Ada Pak Tua,
Koh Acong, Cik Tulani, dan beberapa pengemudi sepit serta tetangga lain.
”Abang Borno, kau sudah pulang?”
Kalimat riang itu berasal dari dokter gigi kemarin yang sekarang berada di
rumahku.
”Mama, sini, Ma. Ini dia Borno-nya.”
Sarah menoleh ke belakang. ”Mama, bergegas! Bukankah Mama tadi tidak sabar
ingin bertemu?” Sarah berseru.
Keluarlah wanita setengah baya ke
beranda, sambil membimbing penuh penghargaan tubuh tua Ibu. Ditilik dari wajahnya,
wanita ini sepertinya habis menangis.
”Boleh aku memeluk Nak Borno?”
”Anggap saja kami sekeluarga besar
adalah bagian keluarga baru kau, Nak. Karena sejatinya, sejak jantung bapak kau
ditanamkan di dada suamiku, sejak itu pula kalian adalah bagian keluarga kami.
Kami sungguh menyesal baru tahu sekarang di mana kalian.”
Sarah sudah menyelinap masuk
kamarku. Di belakangnya, salah satu keponakannya yang masih berumur tiga tahun
ikut masuk sambil memegang sebatang cokelat besar.
”Buku ini bagus sekali,” Sarah
tertarik, membaca-baca, ”Bahkan untuk seorang dokter gigi buku ini menarik.
Coba baca halaman ini, aku jadi tahu tips tentang jangan pernah membiarkan
tangki bensin kosong, itu akan merusak mesin. Abang beli di mana buku ini?”
”Itu hadiah,” aku menjawab perlahan.
”Hadiah dari siapa?” Sarah bertanya,
sambil terus membukabuka halaman.
”Eh, dari Mei.” Aku menelan ludah.
”Siapa Mei ini, Bang?” Sarah tertawa
akrab, mengedipkan matanya.
”Pacar Abang, ya?”
Kamarku lengang sejenak—hanya suara
keponakan Sarah yang asyik menghabiskan cokelatnya. Aku menggeleng. ”Hanya teman.”
Suaraku terdengar begitu hambar.
”Masa iya?” Sarah tidak percaya,
wajahnya riang menyelidik.
”Hanya teman.” Suara hambarku sekali
lagi terdengar di langit-langit kamar.
Bab 24
”Borno! Maju sepit kau!” petugas timer
berteriak. Aku meletakkan buku, menarik pedal gas, propeler berputar lebih
kencang, gelembung air menyeruak ke permukaan, sepitku
melesat anggun ke bibir dermaga, tempat belasan
penumpang sudah berdiri antre.
”Bangku kosongnya biarkan saja, Om. Mei
tidak akan naik sepit pagi ini!” aku berseru dengan intonasi senormal mungkin,
mengatasi keramaian dermaga.
Ini hari ketiga Mei tidak naik sepit.
Aku sebenarnya sama gugupnya dengan tiga hari lalu, berharap-harap cemas Mei
akhirnya muncul di gerbang dermaga. Kemarin saat aku bertanya pada murid sekolah
itu, yang naik sepitku, jawabannya tetap sama. ”Ibu Guru Mei mengajar seperti biasa.”
Jawaban yang mengambil separuh semangatku. Perahuku menyisakan satu tempat
kosong. ”Aku jalan, Om.”
Malam hari ketujuh sejak Mei tidak
pernah kelihatan lagi di dermaga, halaman praktik Dokter Sarah terlihat ramai.
Meja-meja besardi tengah taman, pegawai katering hilir-mudik membawa nampan,
suara percakapan akrab, gelak tawa. Malam ini keluarga besar Sarah mengundang
kami makan.
Pegawai katering berseragam
hilir-mudik mengirim makanan. Aku menelan ludah. Terlepas dari nama makanan, ada hal lain yang
perlu dirisaukan. Lihatlah, setidaknya ada tiga jenis sendok, tiga jenis garpu,
pisau, dan peralatan makan lainnya yang ada di hadapanku.
”Kau pakai yang paling pinggir dulu,
Borno,” Pak Tua berbisik, memberitahu, mencontohkan. Yang lain, yang juga mendengar
kalimat Pak Tua, mengangguk-angguk. Mereka meniru gaya Pak Tua memasang celemek
di dada.
”Pakai yang mana saja boleh, Bu,”
suara Sarah menjelaskan, terdengar dari seberang meja, ”tidak usah dipikirkan
sendok mana. Anggap saja seperti makan di rumah.”
” Tapi ini banyak sekali sendoknya,
Bu Dokter. Aduh, mana sendoknya bagus-bagus. Kalau mau dikasihkan lebihannya,
saya tidak menolak.” Sarah tertawa renyah.
”Bagaimana, Bang Togar?” Entah sejak
kapan, Sarah sudah pindah ke meja kami, berdiri anggun. Aku melirik
tampilannya, ia terlihat cantik dengan kemeja putih. Tanpa saputan riasan,
wajah riang Sarah terlihat bercahaya. Aku buru-buru kembali menatap piringku.Makan
malam di hari itu menjadi makan malam yang amat mengesankann.
Suatu hari, aku memutusan menjual
sepit. Uang yang aku dapat dari penjualan sepit ini, aku gunakan untuk membantu
modal Bapak Andi yang akan membeliengel baru.
Dengan semua persetujuan, maka hanya butuh 24 jam semua beres. Menjual
perahu di Pontianak bukan hal sulit. Sepitku dibeli oleh tauke yang sedang
butuh perahu kecil untuk operasional pabriknya.
Bab 25
Setelah sepitku dijual, jangankan
antre di tambatan sepit nomor tiga belas, mau ke mana-mana saja sekarang tidak
mudah. Sekarang aku harus jalan kaki ke mana-mana. mampir sebentar ke rumah Pak
Tua, disuruh Ibu mengantar rantang makanan. Aku berjalan melintasi gang sempit
kami. Seseorang yang sepuluh hari terakhir gelap kabar beritanya, tidak pernah
kulihat batang hidungnya, seseorang yang sungguh, meski aku sebal, sedih,
marah, tapi dalam ruangan kecil di hati harus kuakui membuat rindu, justru
tergesa-gesa menuruni anak tangga rumah Pak Tua.
”Mei?” Kami bertemu persis di tengah
tangga.
”Abang?” Kami bertatapan dengan
wajah kaku.
”Apa yang kaulakukan di sini?”
”Pak Tua. Eh, aku bertemu dengan Pak
Tua.” Gadis itu mencoba tersenyum, kalimatnya patah-patah. Kami diam sejenak.
”Aku harus bergegas, Bang. Sudah
terlalu sore. Maaf.” Gadis itu mengangguk cepat padaku, menuruni anak tangga
dengan cepat, berlari-lari kecil menuju gerbang pagar.
Dia meninggalkanku yang berdiri
termangu dengan rantang, tanpa sempat menahannya, tanpa sempat bertanya kabar,
apalagi bertanya ke mana saja sepuluh hari terakhir. Kenapa dia tidak datang di
dermaga kayu hari Minggu itu?
”Kenapa Mei datang ke rumah Pak
Tua?” Aku langsung men-desak bertanya.
”Gadis itudatang untuk bertanya
tentang kau,” Pak Tua menjawab santai.
“Kenapa Pak Tua tidak cerita?” aku
berseru tidak percaya.
”Astaga, kenapa pula aku harus
cerita?” Pak Tua meniru gayaku berteriak. ”Lagi pula gadis itu melarangku
bercerita ke mana-mana, terutama pada kau.”
“Seminggu lalu, saat datang pertama
kalinya, gadis itu melarangku bercerita, terutama pada kau. Maka jadilah orang
tua ini memenuhi janjinya, tidak bercerita.”
Pak Tua menatapku datar. ”Kau ingin
tahu kenapa dia tidak datang Minggu pagi? Jawabannya sederhana, dia tidak siap
bertemu. Tiba-tiba merasa semuanya terlalu cepat...”
”Apanya yang terlalu cepat?” aku
memotong.
”Mana aku tahu? Aku hanya mengulang
kata per kata saja dari Mei, mengutip langsung dari ceritanya tanpa
bumbu-bumbu.” Pak Tua menatapku sebal, karena kupotong.
”Kenapa dia tidak datang hari Senin,
menumpang sepit antrean nomor tiga belas kau? Juga sama, dia sudah seratus meter
dari gerbang dermaga, dia sudah siap menyeberang naik sepit, tinggal sepuluh
meter lagi dari gerbang, saat dia melihat kau menunggu sambil membaca buku, dia
memutuskan batal. Urung begitu saja. Jangan tanya orang tua ini kenapa. Itu
juga dia lakukan pada hari Selasa, Rabu, dan seterusnya. Aku menelan ludah.
Aku pergi ke bengkel baru yang baru
dibeli dengan uang hasil penjualan sepitku dan uang ayahnya Andi.
”Kau dari mana saja, Borno?” Andi
tersengal, membungkuk.
”Eh, aku tadi dari balai kota. Kau
mencariku?” Aku menatap Andi bingung.
“Kacau balau Borno!” Andi berseru.
”Kacau-balau?” Aku tidak mengerti.Andi
pasrah menunjuk bengkel. Aku seketika menelan ludah.Lihatlah, ada beberapa
petugas polisi di sana—kupikir tadi tamu atau kolega bapak Andi yang berkunjung
hendak mengucapkan selamat. Ternyata
bengkel yang dibeli bukanlah milik penjual yang kemarin. Modal ku dan Bapaknya
Andi hilang. Bapak Andi hanya bisa melamun seharian. Sungguh tidak bisa
dipercaya, penjual dan notarisnya semuanya palsu. Usaha yang bisa kami lakukan
adalah terus mengoperasikan bengkel sampai batas sewanya selesai.
Bab 26
”Kami terburu-buru, bisa kaubereskan
lima belas menit?”
”Tenang saja, Om. Bengkel ini punya
semboyan ‘Memperbaiki seperti pit stop balapan Formula 1’. Lima belas menit
lebih dari cukup.” Andi sigap mendorong sedan ke dalam area parkiran bengkel.
”Kau tidak bergurau?” Andi
mengacungkan dua jarinya. ”Lima belas menit tidak beres, gratis, Om. Tidak usah
bayar.”
Tiga penumpang terlihat ragu-ragu.
Yang paling depan menoleh pada temannya, yang ditoleh mengangkat bahu, mau ke
mana lagi? Mobil sedan mereka persis mogok saat melintasi perempatan Jalan
Atmo. Mereka sudah senang melihat ada tulisan ”bengkel”.
Mobil mati mendadak saat dikendarai,
itu bisa empat hal: filter bensin mampet, rotax alias pompa besin mati,
karburatornya kotor, atau sistem kelistrikan bermasalah. Tanganku cekatan
membuka kap mesin, berdoa dalam hati, semoga bukan sistem kelistrikannya yang
rusak. Dengan peralatan bengkel serba terbatas, akan repot sekali
memperbaikinya kurang dari lima belas menit seperti bual Andi. Lima menit
memeriksa, akhirnya aku tersenyum lega. Hanya karburator. Ini gampang, tinggal
dibersihkan.
”Silakan distarter, Pak.” Lima menit
berlalu lagi.
”Sudah selesai?” Salah satu
penumpang sedan bertanya.
“Kau sungguh-sungguh?” Aku
menyengir.
”Iya. Coba nyalakan saja.” Dia
menoleh ke temannya, yang ditoleh mengangkat bahu, menyalakan mesin. Gerung
mesin langsung terdengar. Ketiga penumpang itu tertawa lega.
Itulah pelanggan pertama kami. Efek
senangnya bukan kepalang. Aku tertawa lega bukan semata-mata karena bengkel mulai
beroperasi, tapi lihatlah, semangat Andi kembali pulih. Apa pun yang terjadi,
aku tetap membuka bengkel seminggu kemudian. Terlepas dari kasus penipuan,
pemilik bangunan menghormati kontrak sewa yang tersisa tiga tahun itu menjadi
hak kami sekarang. Aku memaksa petugas melepas pita ”garis polisi”. Kami harus
segera menjalankan bisnis, tidak bisa berkabung terlalu lama.
Bab 27
”Aku tidak bisa melakukannya
sendirian, Daeng.” Aku menatap bapak Andi.
”Ini berbeda dengan membeli spare
part, memperbaiki mobil, atau merekrut montir baru. Itu semua bisa kuurus
bersama Andi. Yang satu ini berbeda. Daeng harus ikut membantu.” Bapak Andi
balas menatapku. Ruangan kantor lengang.
”Kita sudah mampu menyewa peralatan
itu, Daeng. Percayalah. Tidak usah dicemaskan uangnya. Dengan peralatan bengkel
yang lebih baik, kita bisa menerima perbaikan mobil lebih banyak, lebih cepat,
dan lebih efisien. Kita bisa membayar sewanya,” aku meyakinkannya. Bapak Andi
tetap diam.
”Bagaimana? Daeng pasti bisa
menghubungi bengkel-bengkel besar kenalan. Bertanya apakah mereka bisa
menyewakan peralatan atau tidak. Aku tidak bisa melakukannya. Kenalanku tidak seluas
Daeng.” Aku tersenyum, menyemangati.
”Aku takut, Borno.” Akhirnya bapak
Andi bicara.
”Kali ini kita tidak akan ditipu,
Daeng.” Aku menyentuh tangan bapak Andi.
”Aku sendiri yang memastikan semua peralatan
itu terpasang di bengkel tanpa masalah sebelum kita melakukan pembayaran.” Ruangan
kantor bengkel lengang lagi.
”Kau baik sekali padaku, Borno.”
Bapak Andi berkata perlahan.
”Seharusnya kau menyalahkan orang
tua bodoh ini, membuat kau kehilangan sepit...”
”Sudahlah, Daeng. Kita tidak akan
mengenang kejadian dua bulan lalu. Itu sudah selesai. Sekarang saatnya maju.
Kalau Daeng tetap sedih berkepanjangan, tetap ragu-ragu, kita tidak akan pernah
bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Lihat, kita sudah punya dua montir
baru, pelanggan banyak,” aku berkata mantap.
Bapak Andi diam, tangannya memperhatikan
daftar peralatan bengkel yang kubutuhkan.
”Kongsi itu,” bapak Andi berkata
pelan.
Aku menoleh. ”Iya?”
”Kau seharusnya mendapatkan porsi
kongsi yang lebih besar sekarang, Borno. Kau bekerja lebih banyak.”
Aku mengangkat tangan. ”Kita urus
itu belakangan, Daeng.”
Dua bulan berlalu, bengkel kami maju
meyakinkan. Bukan soal pelanggannya yang bertambah, bukan pula hitungan jumlah montir
atau pemasukan uang. Hal terpenting yang membuatku senang adalah kemajuan bapak
Andi. Lihatlah, dia sudah ikut tertawa melihat menu makan malam kami. Aku tidak
paham masalah psikologi. Aku paham soal mesin, tapi secara naluri aku tahu,
cara terbaik mengembalikan semangat bapak Andi adalah dengan menyertakannya
dalam semua kerja keras, pengharapan, dan cita-cita bengkel.
Tiba-tiba Mei datang ke bengkel.
Esok harinya, Aku dan Mei memulai upaya untuk mempromosikan bengkel. Upaya
tersebut kami lakukan dengan membagi-bagikan stiker dan jaket bertuliskan nama bengekel
ini, “Bengkel Borneo”.
Setelah seharian kami mempromosikan
bengkel ke sana ke mari, Aku memutuskan mengajak Mei makan di tempat spesial. Kami
makan siang di restoran terapung
Sial, tanpa aku sadari, tentu saja
perahu besar itu melewati dermaga gang sempit kami. Dengan geraknya yang
lamban, siapa pun yang berada di dermaga kayu bisa melihat jelas penumpang
kapal besar di atasnya—apalagi kami duduk persis di sisi luar.
”Woi! Woi, itu Borno, bukan?”
Tiba-tiba terdengar seruan.
”Mana? Mana?”
”Itu, di atas kapal restoran terapung.”
”Iya, benar, itu Borno!” Aku yang
merasa namaku disebut menoleh.
”Astaga! Kita menunggu sebal
berjam-jam di dermaga kayu, ternyata dia justru sedang asyik makan siang
bersama pacarnya.
“Lihat! Lihat!” Terdengar seruan
kesal. Menilik suaranya, itu pasti Jauhari.
”Woi, Borno!” Mukaku langsung merah
padam.
Setelah kejadian yang memalukan
namun romantis itu, aku mengantar Mei pulang.
”Abang tunggu sebentar di sini, aku
ambilkan bukunya.” Gadis itu menyuruhku masuk hingga ruang depan rumah besarnya,
lantas belari menaiki tangga menuju lantai dua. Sejak dari opelet tadi Mei
bilang dia punya buku tentang mesin yang bagus untukku.Tinggallah aku berdiri
menunggu di ruang depan rumahnya yang luas dan tinggi.
Aku hendak menatap langit-langit
ruangan yang berhiaskan lampu kristal, dari balik pot besar melangkah mendekat
seseorang yang pernah kutemui di Surabaya.Berdeham mantap. Aku menoleh.
”Seharusnya kau berhenti menemui
Mei, anak muda.” Suara berat itu langsung ke topik pembicaraan. Wajah khas peranakan
Cina yang tegas, berwibawa, menatapku amat tajam.Aku tercekat. Seketika.
”Kau keliru, Borno. Keliru besar.
Aku tidak pernah keberatan kau hanya pengangguran, pengemudi sepit, atau
pemilik bengkel. Urusan ini tidak ada hubungannya dengan itu. Aku tidak suka kau
dekat dengan Mei. Titik. Kau dan dia hanya akan saling menyakiti.” Ruangan
terasa lengang. Wajahku entah sudah seperti apa, pucat.
Suara tegas itu menusuk hatiku,
seperti roket yang ditembakkan berkali-kali di tempat sama. Aku tersengal. Situasi
ganjil mengambang di langit-langit ruangan.
”Abang?” Mei justru menuruni anak
tangga dengan wajah riang, melihat kami berdua yang berhadap-hadapan dari jarak
lima langkah.
”Abang Borno sudah ketemu Papa.” Mei
mendekat, membawa buku.
”Aku tadi lupa memberitahu, Papa
baru datang dari Surabaya tadi malam, Abang. Menjengukku. Ibu, itu kali kedua
aku bertemu dengannya. Meminjam istilah Pak Tua, itulah ”satpam rumah Mei” yang
supergalak. Patah-patah aku izin pamit, menjulurkan tangan, yang hanya dibalas
deham ringan. Mulai malam itu, semua episode kehidupan berikutku benar-benar
berjalan runyam.
Bab 28
Pukul enam sore, jalanan depan
bengkel ramai. Cahaya lampu hias mulai menyala, berpendar indah. Terdengar
suara klakson mobil dan motor. Aku tidak sempat memperhatikan. Kepalaku berada
di kap mobil, membungkuk, membongkar mesin. Tanganku licin oleh oli. Wajahku
cemong tampilanku hanya lebih baik satu senti dibandingkan waktu dulu bekerja
di pabrik karet.
”Ada yang mencari kau, Borno.”
Ternyata Andi sudah berdiri di dekatku, mengetuk bumper mobil.
Aku mengangkat kepala. ”Siapa?”Andi
menunjuk ke depan.
”Eh, aku cuci tangan dulu sebentar,
ya.” Aku melangkah mendekati Mei.
”Tak usah, Bang. Aku hanya
sebentar.” Gadis itu menggeleng.
Gerak kakiku terhenti, menoleh,
menatap wajah yang sedikit menunduk itu. Ada apa? Suara bergetar Mei bukan
pertanda baik.
”Atau setidaknya kita bicara di
kantor saja.” Aku menunjuk Andi dengan siku, tidak enak didengar Andi. Gadis
itu menggeleng.
”Baiklah.” Aku tersenyum pada Mei.
”Abang...” Suara Mei
terdengar serak.
”Aku pikir, aku pikir kita tidak
usah bertemu lagi.” Bahkan Andi yang pura-pura kerja tapi sejatinya menguping,
terhenti gerakan tangannya membuka baut.
”Tidak usah bertemu?” Aku
memastikan, siapa tahu aku salah dengar.
”Iya, sebaiknya kita tidak usah
bertemu lagi.”
Langit-langit workshop terasa
lengang.
” Tapi kenapa?” Intonasi suaraku
terdengar bergetar. Mei hanya diam, menunduk lagi.
”Ini, ini tidak ada hubungannya
dengan Papa, kan?” Aku putus asa menebak.
”Papa? Memangnya Papa bilang apa
pada Abang kemarin?”
”Eh, tidak bilang apa-apa.” Mulutku
kaku. Menilik wajah Mei, ini jelas tidak ada hubungannya dengan dugaanku. ”Aku
pikir, eh, justru mungkin Papa yang bilang sesuatu pada kau.”Gadis itu
menggeleng.
”Papa tidak bilang apa-apa.”
”Lantas kenapa?” Aku memutuskan
mendekat, jarak kami tinggal tiga langkah.
”Maafkan aku, Abang.
Maafkan aku.” Gadis itu berulang kali menyebut kalimat itu, seperti
mendesah pada langit kota Pontianak. Satu mobil opelet melintas. Mei melambaikan
tangan. Opelet berhenti. Mei bergegas naik. Opelet itu melaju,
meninggalkan aku yang berdiri terenyak.
Bab 29
Sebenarnya saat itu juga aku hendak
menyusul Mei ke rumahnya, naik opelet, taksi, ojek, apa saja yang bisa kutumpangi,
tapi Andi beranjak menemaniku berdiri termangu di pinggir jalan. Dia berkata pelan, ”Kalau aku
dalam situasi seperti kau, Borno, detik ini juga aku akan naik helikopter,
terjun komando di depan jendela kamarnya, lantas menembakkan berjuta
pertanyaan. Tetapi, kabar baiknya, aku tidak dalam situasi seperti kau, aku
lebih waras. Andi menyengir. Aku menoleh, hampir mencekik Andi terlalu, dia
benar-benar overdosis. Lihatlah, kawannya sedang sedih bagai anak habis diomeli
ibu tiri, dia malah bilang lebih waras. Andi menyuruhku pulang
lebih cepat. Aku menurut. Aku tiba di rumah setelah berjalan kaki setengah jam.
Aku
bergumam. Baru juga naik tangga, di beranda sudah berkerumun Bang Togar, Cik
Tulani, Koh Acong, dan Pak Tua.
Terlihat meriah. Sepertinya ada Sarah
aku menebak dalam hati. Siapa lagi yang akan membuat rumah papan Ibu jadi ramai
kalau bukan dia.
”Halo, Abang.” Baru saja aku
menebak, kepala Sarah sudah nongol di balik pintu, tersenyum riang. Di
tangannya ada beberapa baju kurung yang sepertinya habis dicoba.
”Baru pulang dari bengkel?” Sarah
meraih tas besar di bawah meja.
” Tidak ada masalah kan, di
bengkel?” Sarah bertanya, menatap heran wajah kusutku.
”Paling juga dia habis bertengkar
dengan pemilik mobil,” Pak Tua berkata santai, sudah mengenakan kemeja baru
yang cocok benar di badannya.
”Bagaimana? Apakah orang tua ini
jadi terlihat lebih tampan, Sarah?” dia bertanya pada dokter gigi itu. Sarah
mengacungkan dua jempol.
Sudah tiga hari aku menahan untuk
tidak bertemu Mei. Namun aku butuh penjelasan. Akhirnya aku memutuskan untuk
pergi ke rumah Mei. Namun Mei tidak ada di sana. Aku pergi ke sekolahnya, namun
ia segera pulang sesaat aku sedang berbicara dengan kepala yayasan untuk
menemuinya. Akupun kembali ke rumahnya. Aku langsung bertanya.
”Mei sudah tiba?” Bibi mengangguk.
”Sedang mandi.” Aku menghela napas
lega.
” Tolong bilang pada Mei, Bi, aku
ingin menemuinya.” Bibi terdiam, berpikir sejenak, lantas masuk ke dalam,
membiarkanku sendirian menunggu di beranda depan, sama seperti
kemarin malam. Satu jam. Lengang.
Dua jam. Gelas teh panas yang
diberikan Bibi sudah habis. Malam itu aku tetap meninggalkan rumah besar itu
dengan wajah kuyu. Mei menolak bertemu denganku. Setelah dua jam menunggu, dua
jam membujuk, dua jam Bibi seperti setrikaan, bolak-balik beranda depan dan
kamar Mei, sabar menangani kami berdua, Mei akhirnya hanya menitipkan secarik
kertas, bertuliskan, ”Maafkan aku, Abang. Seharusnya aku tidak pernah menemui
Abang.”
Aku menggenggam secarik kertas itu
erat-erat. Aku melangkah sendirian di
bawah jutaan butir air hujan yang turun deras membasuh kota kami. Cahaya lampu
mobil menerpa wajah. Membuat silau. Setelah seminggu berlalu, ini jelas bukan
skenario penjelasan yang kuharapkan. Justru dengan dua kalimat pendek di atas
secarik kertas, bermekaran berjuta pertanyaan lain. Kenapa? Kenapa sekarang,
Mei?
Bab 30
Hari ini aku tidak mendatangi rumah
Mei, atau sekolahnya. Sejak pagi Ibu sudah mengingatkan, juga Cik Tulani saat
aku lewat depan warung, juga Koh Acong
saat aku melintasi toko kelontong, dan tentu saja Andi sepanjang siang di
bengkel yang semangat saat mendengar aku mengajaknya. Hari ini kami pergi
menghadiri undangan pesta kakak Sarah. Petugas resepsi mengantar rombongan kami
ke meja kosong, langsung disambut mama Sarah dan Sarah dengan gaun serbamerah.
”Aduh, saya senang sekali Ibu dan
yang lain mau datang.” Mama Sarah
memeluk Ibu erat-erat, sun pipi kiri, sun pipi kanan, sudah seperti memeluk
saudara dekatnya saja.
”Ibu cantik sekali dengan baju
kurung ini. Saya sendiri yang memilihkannya, membayangkan berkali-kali agar
pas. Aduh senangnya, ternyata cocok.”
Ibu tersipu, bersemu merah sebenarnya
tadi Ibu grogi, dia tidak pernah menghadiri pesta pernikahan model ini,
”Mana Borno?” Mata mama Sarah
melintasi tubuh tinggi besar Bang Togar, mencariku.
Pak Tua menyikutku, menyuruh maju. Aku
memasang wajah terbaik, menyapa mama Sarah. ”Selamat malam, Tante.”
”Kau tampan sekali dengan kemeja
itu, Borno.” Mama Sarah tertawa renyah
Meja kami ramai lagi oleh tawa.
Sepertinya mama Sarah akan bertahan lama di meja kami, mengobrol santai,
menggoda aku dan Sarah, tapi rombongan tamu yang lain terus berdatangan,
membuat percakapan terpotong.
Tak ku sangka, aku melihat Mei
bersama Papanya. Papa nya pergi ke toilet. Akupun menghampirinya. ”Selamat
malam, Mei.” Aku memutuskan lebih dulu menyapa Mei.
”Kalian saling kenal, Abang? Tien?” Sarah
bertanya riang, memotong.
”Abang mengenal Tien? Tadi Abang
memanggil apa? Mei? Oh ya, itu nama kecil Tien. Aduh, ini sungguh kejutan. Sarah
mengambil alih semua pembicaraan.
Wajah Mei terlihat kaku. Demi sopan
santun dia ikut berdiri, berkali-kali berusaha tersenyum, menanggapi betapa
riangnya Sarah saat tahu kami sudah saling mengenal. Aku tahu, melihat wajah
Mei, dia juga tidak menyangka akan bertemu denganku di pesta pernikahan ini.
Sarah meninggalkan kami berdua.
Percuma. Begitu Sarah pergi, papa
Mei telah kembali, melihat kami yang berdiri berhadap-hadapan.
” Tentu saja.” Suara papa Mei
terdengar tajam seperti biasa, menatapku datar saat dulu pertama kali
melihatku, sama sekali tidak tampak kaget.
” Tentu saja kau akan diundang dalam
pesta ini.”
Aku menelan ludah. ”Selamat malam,
Om.”
Papa Mei sama sekali tidak merasa
perlu menjawab salamku.
Dia menoleh pada Mei. ”Kita pulang,
Mei. Di luar mendung tebal, sebelum telanjur hujan.” Mei mengangguk, meraih tas
kecilnya.
”Aku pulang, Abang.” Suaranya antara
terdengar dan tidak. Mobil hitam metalik itu sudah merapat di lobi bersama
mobil-mobil lain.
” Tunggu. Tunggu sebentar, Mei!” aku
berseru. Seruan yang tidak hanya membuat langkah Mei dan papanya terhenti,
tetapi semua undangan yang berdiri di lobi menoleh padaku. Pintu mobil sudah
terbuka, Mei sudah bersiap masuk.
”Kenapa?” aku bertanya dengan
seluruh pengharapan. Harapan atas sebuah penjelasan. Gadis itu menggigit bibir,
menatapku lamat-lamat. Mei menggeleng. Dia perlahan masuk ke mobil. Mobil hitam
metalik menderum halus meninggalkan lobi hotel.
Bab 31
“Apakah kau telah berusaha bertanya
padanya? Apa lasannya? Mengapa dia seperti itu?” Pak Tua bertanya.
”Mei terus menolak menjelaskan. Dia
terus menolak. Bahkan aku cemas, dia malah memutuskan pergi dari sini.”
”Itu berarti sudah saatnya kau
memulai kesempatan baru. Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau
semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia
tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario
terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan
baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang.” Aku terdiam.
”Pak Tua, tadi Pak Tua bilang Mei
akan pergi?”
”Boleh jadi. Ketika dia tidak
sanggup lagi menghindari kau, dia akan pergi. Tapi itu hanya asumsiku, Borno.
Jangan percaya asumsiku.” Pak Tua melambaikan tangan. Aku menelan ludah. Mei pergi?
Itu kemungkinan yang buruk. Ruang tengah kembali lengang.
Bab 32
”Langkah paginya kau berangkat,
Borno?” Tetangga menyapa, menguap, masih sarungan di depan rumah papan yang menempel
rapat satu sama lain.
”Kau mau ke bengkel atau jangan-jangan
mau jadi komandan upacara bendera tujuh belasan di lapangan balai kota?” Aku
menggeleng.
” Tidak dua-duanya, Pak. Aku mau ke
dermaga feri.”
Hari ini akan dilaksanakan lomba
balap sepit.Aku meminjam sepit Pak Tua. Meski sepit ini sudah uzur seperti
pemiliknya, aku tidak akan kalah. Beginilah aturan mainnya. Ada 64 sepit yang
ikut serta. Peserta dibagi menjadi 16 grup, berisi masing-masing empat peserta.
Inilah babak penyisihan, setiap grup akan bertanding sekali, berhuluan menuju
Jembatan Kapuas, lantas berputar arah di salah satu tiang betonnya, kembali
berhiliran ke dermaga kayu. Pemenang grup otomatis maju ke babak enam belas
besar. Nama-nama 64 peserta lomba dengan grupnya sudah ditulis di papan besar
dekat podium, dilengkapi panah-panah diagram menuju babak final.
Sarah mengikutiperandingan ini. Ini
pertama kali ada perempuan ikut serta lomba dan langsung mengalahkan pengemudi
sepit laki-laki. Apa kata mereka? Tetapi tidak ada yang peduli dengan wajah
masam Bang Togar.
Penonton berseru-seru menyemangati.
Turis bule sibuk memotret. Aku menelan ludah. Sepit Sarah meluncur melintasi
garis finis tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun. Cepat sekali bahkan aku
tidak yakin apakah sepit Pak Tua lebih cepat dari itu.
Bab 33
Babak 16 besar dimulai. Enam belas
sepit terbaik dari babak penyisihan kembali dibagi menjadi empat grup dengan masing-masing
empat sepit. Juara grup baru ini otomatis berhak masuk ke babak final, empat
sepit terbaik. Perlombaan semakin menegangkan. Kerumunan penonton di dermaga
semakin ramai, juga di sepanjang tepian Kapuas. Pukul empat sore, matahari
mulai bergerak tumbang, permukaan sungai tidak terlalu terik, penonton bisa
menonton lebih nyaman.
”Woi, maju empat sepit pertama!”
Petugas timer memulai babak 16 besar. Sepit merah Bang Togar meluncur anggun ke
bibir dermaga bersama tiga sepit
lainnya.
”Kalian siap?” Petugas timer
memastikan. Empat pengemudi sepit mengangguk. Penonton bersorak-sorai. Anak-anak
menggemakan koor,
”Petir! Petir! Petir!”
Dor! Tembakan tanda start berbunyi
nyaring. Permukaan Sungai Kapuas segera dipenuhi gelembung dan gerakan air,
seperti ombak. Sepit merah Bang Togar
sudah kembali, meluncur di depan.
Berbeda dengan babak penyisihan yang
mudah saja kumenangkan, aku tahu babak 16 besar lebih sulit.
Sepitku melintasi garis finis. Aku
lolos ke babak final. Grup terakhir. Masih tersisa satu sepit lagi yang berhak
maju ke babak final. Grup terakhir. Masih tersisa satu sepit lagi yang berhak
maju ke babak final.
”Kalahkan dia, Jupri!” Bang Togar
terlihat berbisik pada Jupri yang bersiap.
”Kalau kau berhasil mengalahkan
dokter gigi itu, utang kau selama ini kuanggap lunas.” Bang Togar menepuk-nepuk
bahu Jupri.
” Tapi kalau kau yang kalah, awas
saja.”
”Hati-hati, Sarah.” Aku sedikit
gugup melihat Sarah harus ber tanding melawan Jupri, dia sama curangnya dengan
Bang Togar.
Sarah tersenyum, loncat ke atas
sepit hijaunya. ” Terima kasih sudah mengingatkan, Abang.”
”Lihat! Astaga, leluhur kita,
leluhur kita benar-benar akan marah, Bang Togar!” petugas timerberseru lantang,
menatap tidak percaya. ”Sepit hijau memimpin jauh di depan, bahkan meninggalkan
Jupri, juara dua lomba sepit tahun lalu.”
Inilah dia, setelah 64 sepit berlomba,
60 tersingkir, empat akhirnya maju ke babak final. Inilah babak yang paling
kita tunggu-tunggu.” Suara petugas timer mulai terdengar serak setelah hampir
tiga jam memimpin pertandingan. ”Kita sambut empat finalis yang akan
memperebutkan piala.
Saat Bang Togar, Sarah, dan Johan
sudah loncat ke atas sepit, ada yang tiba-tiba mendekatiku, menerobos kerumunan
penumpang. Seseorang itu segera menahan tanganku, membuat gerakanku yang hendak
loncat ke atas sepit terhenti. Seketika.Aku menelan ludah. Ada apa? Ternyata
itu adalah bibi yang bekerja di rumah Mei. Bibi yang selama ini selalu
menyampaikan suratku kepada Mei.
Bab 34
Pak Tua selalu benar. Tetapi bukan
soal memulai kesempatan baru itu. Ketika Mei tidak kuasa lagi membaca
pesan-pesan itu, terlebih pesan terakhirku dengan satu kalimat yang telah
kuhapus, aku tidak tahu bahwa mudah saja membaca apa yang telah dihapus dari
tulisan pensil. Mei memutuskan pergi. Dia menjauh dariku ketika menjauh secara
perasaan tidak cukup, maka menjauh secara
fisik adalah pilihan berikutnya.
Pak Tua benar, Mei pergi. Bibi, adalah
Bibi yang memegang tanganku. Dia tersengal, berpeluh, tangannya gemetar
menjulurkan lipatan kertas.
”Nona, Nona Mei, Nak Borno...!”
Susah payahBibi berseru, berusaha mengalahkan bising penonton dan sengal napas.
Aku menelan ludah, menatap wajah yang pastilah habis berlari secepat mungkin
dari perempatan dekat gang.
”Ini apa?” Tanganku gemetar
mengangkat lipatan kertas.
”Pesan dari Nona Mei, Nak.”
”Maafkan aku, Abang. Aku pulang ke
Surabaya.”
Kau sungguh terlalu, Mei. Kutulis
pesan berbaris-baris, hanya ini balasan pesan kau?
”Satu jam lalu. Nona Mei sebenarnya menyuruh
Bibi mengirimkan pesan ini besok pagi. Tapi bibi tua ini tidak tahan, tidak
kuasa. Kau harus segera tahu, Nak. Kau berhak tahu. Seumur-umur Bibi bekerja di
rumah itu, sungguh baru pertama kali ini Bibi melanggar perintah. Aduh, semoga
almarhumah Nyonya tidak marah.” Astaga! Aku sungguhan panik.
Aku sudah lari menerobos kerumunan
penonton, menyibak siapa saja di depanku, mendorong paksa, satu-dua jatuh terduduk.
Aku tidak peduli. Aku bergegas secepat kakiku bisa melewati gerbang dermaga. Aku,
dengan kecepatan penuh, sudah mengejar Mei ke bandara. Tanpa berpikir pan-jang,
aku nekat menerobos palang pintu.
”Mei!” aku berteriak kencang. Eh?
Petugas yang masih menghalangiku bingung. Kenapa aku tiba-tiba teriak.
”Mei!” aku berseru lebih kencang.
Entah ada di mana Mei, setidaknya teriakanku menarik perhatian penumpang yang
ada di ruang tunggu.
Dua petugas segera meringkusku. Aku
melawan.
”Mei!” Aku mohon, dengarkanlah. Sekarang
tiga petugas berusaha meringkusku. Badan mereka besar-besar. Orang-orang berdiri
menonton, berbisik-bisik. Aku kalah
tenaga, diseret keluar dari ruang tunggu. Mei, di manakah kau?
Mereka memeriksa dompetku, membuat
berserak KTP, uang receh, pesanan spare
part, catatan kecil tentang jadwal pelatihan bengkel,
bukti utang Juned, dan kertas kecil, lecek, bertuliskan
”Maafkan aku, Abang. Seharusnya aku
tidak pernah menemui Abang.” Itu pesan Mei
yang selalu kusimpan di dompet. Petugas terdiam
membacanya. Mereka menatapku.
”Cerita kau sungguhan?”Aku menunduk.
Petugas berbisik-bisik, suara mereka prihatin. Aku akhirnya dilepaskan. Aku mendorong
pintu ruangan, menghela napas. Selesai sudah. Semua urusan ini berakhir tanpa
aku sempat mendengar penjelasan. Sudah pukul tujuh malam, sebaiknya aku pulang.
”Abang...” Suara itu memanggilku.
Aku mengangkat kepala.
”Abang baik-baik saja, kan?” Aku
sungguh seperti mendapatkan kejutan.
”Kau, kau tidak jadi naik pesawat?”
Aku meneguhkan diri. Mei mengangguk.
” Tapi aku tetap pulang ke Surabaya,
Abang,” Mei berkata pelan, menunduk.
”Aku sudah membeli tiket baru.
Pesawat terakhir yang menuju Surabaya hari ini.”
”Kenapa, eh, kenapa kau pergi
mendadak sekali?” aku bertanya gugup.
”Maksudku, eh, kalau kau masih
sempat bilang dua atau tiga hari lalu, mungkin aku bisa membelikan oleh-oleh, durian
pontianak, pisang goreng, atau apalah yang kausukai.” Mei tertawa pelan, getir.
Kami terdiam lagi.
”Berapa lama kau ke Surabaya? Tiga
hari?” Mei menggeleng.
”Satu minggu?” Mei menggeleng.
”Dua minggu? Satu bulan?” Suaraku
bergetar.Mei menggeleng.
”Aku tidak tahu, Abang. Boleh jadi
selamanya.”
” Tapi... tapi kenapa, Mei?” Akhirnya
pertanyaan itu berhasil ku keluarkan langsung di hadapannya, setelah
berminggu-minggu terpendam. Mei diam sejenak.
”Aku juga tidak tahu persis apa
alasannya, Abang. Aku tidak tahu. Mungkin ini lebih baik buat kita.”
“Tidak tahukah kau, kalau, kalau...,”
aku meremas jemari, memaksa kakiku tetap kokoh berdiri Mei menunduk lagi.
”Maafkan aku, Abang, karena, karena aku
sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kedekatan kita, hubungan kita,
semuanya. Minggu-minggu terakhir ini membingungkan. Bahkan sebenarnya, sejak
pertama kali kita bertemu di atas sepit, semua sudah rumit.” Aku menyisir rambut
dengan jari. Rumit apanya?
”Apakah, apakah kau menyukaiku?”
Entah kenapa, aku justru mengeluarkan pertanyaan itu untuk membuat semua
kerumitan menjadi lebih sederhana.
”Aku tidak tahu, Abang. Aku sungguh
tidak tahu lagi apa yang sedang aku
lakukan. Berdiri di sini, menunda pesawat tadi, menghindari Abang berminggu-minggu,
menolak bertemu. Semua ini membingungkan, bahkan bagi diriku sendiri.” Suara
gadis itu bergetar.
”Maafkan aku, Abang. Kita hanya
saling menyakiti jika terus bertemu.”
Pengumuman di langit-langit ruangan
terdengar sekali lagi, final call untuk penumpang penerbangan terakhir menuju
Surabaya.
”Berjanjilah, Abang, hingga hari itu
tiba, baik atau buruk akhirnya, sesuai
atau tidak sesuai dengan harapan, Abang Borno akan terus melanjutkan hari-hari,
terus menjadi bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Aku
harus pergi, Abang, selamat tinggal.” Gadis itu lantas balik kanan, satu tetes
air matanya tepercik ke lantai. Dia berlari-lari kecil menuju pintu ruang
tunggu. Aku berdiri mematung. Percakapan telah selesai.
Bab 35
Satu bulan pertama tidak mudah, semua
kenangan itu kembali, membuat duniaku menjadi terbalik. Wajah Mei saat
hujan-hujanan di rumah Fulan dan Fulani, wajah Mei saat bertanya ”Apakah Abang sudah dapat angpau?”
di dermaga, wajah Mei saat makan bersama di restoran terapung.
Semuanya berebut memenuhi kepala.
Membuatku tidak semangat mengurus bengkel, tidak semangat mengurus diri
sendiri, lebih sering diomeli Ibu, yang kesal melihatku malas-malasan di
rumah. Andi juga selalu mengeluh setiap
melihatku di bengkel, bilang aku seperti anak kecil cacingan, menjadi pendiam
dan suka lemas sendiri. Itu sungguh hari-hari yang sulit, kurang tidur, tidak
selera makan, sensitif, dan mudah marah.
Kabar baiknya, memasuki bulan kedua,
situasiku membaik. Bengkel kami berlari
kencang. Dengan peralatan baru yang dibeli di Surabaya, lebih banyak mobil dan
jenis pekerjaan yang bisa kami terima, lebih cepat dan lebih efisien. Pegawai
bengkel sudah bertambah duasatu montir, satunya lagi urusan administrasi.
Kesibukan bengkel sedikit-banyak
mengusir resahku. Enam bulan ini, Sarah banyak bercerita tentang masa kecil kalian.
Favorit dia adalah mengulang kisah dikejar penduduk gara-gara mencuri mangga. Aku sampai hafal
detail kejadian itu. Sarah bilang, kau pergi tiba-tiba saat usia kalian dua
belas tahun, tanpa pamit, tanpa kabar. Seluruh keluarga besar kalian pindah ke Surabaya. Kalian baru bertemu
kembali saat kau magang di sekolah milik yayasan itu.Jadi maafkan aku, Mei,
itulah satu-satunya yang tidak bisa kupenuhi. Sarah bukan kesempatan baru
bagiku. Kau satu-satunya kesempatan yang pernah kumiliki, dan aku tidak akan pernah
mau menggantinya dengan siapa pun.
Bab 36
Kau tahu, Mei, ini sudah hampir
sebelas bulan kau tidak ada kabarnya. Apakah kau baik-baik saja? Sehat? Apakah
kau rindu padaku?
Kau tahu, Mei, aku tetap memegang
janjiku padamu. Mengurus bengkel dengan baik, terus menjadi bujang dengan hati paling
lurus sepanjang tepian Kapuas. Bengkel itu semakin hebat sekarang. Sebulan lalu
kami membicarakan kemungkinan membuka cabang baru. Kami merekrut tiga montir
tambahan.
Oh ya, Mei, bulan depan aku akan
mendaftar kelas ekstensi Jurusan Teknik Mesin di Universitas Pontianak. Itu
cita-citaku. Pasti lelah mengurus bengkel sepanjang hari, lantas belajar pula pada
malam hari, tapi itu menyenangkan. Aku tidak sabar untuk mulai belajar mesin
dengan benar, tidak belajar sendiri.
Kau apa kabar, Mei? Apakah kau terus
menjadi guru yang baik? Mencintai dan dicintai anak murid kau? Bolehkah aku
bertanya tentang itu, Mei? Apakah sekarang semuanya mulai jelas? Apakah
sekarang kau mulai yakin atas hubungan ini? Apakah kau sudah punya jawabannya?
Kalau sudah, bisakah kau segera memberitahuku? Kemajuan sedikit saja di hati
kau akan memberikan rasa tenteram yang luar biasa bagiku. Saat aku menjejakkan kakiku
di pelataran jalan, seseorang itu telah menunggu. Jawaban itu telah tiba.
Bab 37
Adalah
Bibi yang menungguku di loket bus Pontianak Kuching. Dia cemas. Wajahnya penat.
Jelas sudah sejak sore dia menungguku di loket.
”Mei... Nona Mei sakit, Nak.” Bibi
langsung ke topik pembicaraan.
”Sakit? Sakit apa?” Aku menyeka
keringat di leher.
”Bibi tidak tahu, Nak.”
”Sudah berapa lama?”
”Hampir tiga bulan.”
” Tiga bulan?” Astaga. Aku menelan
ludah, memastikan apa aku tidak salah dengar.
Bibi mengangguk,
menatapku dengan wajah prihatinku terdiam. Ya Tuhan, bagaimana mungkin Mei sakit
begitu lama baru sekarang beritanya kuterima. Apa yang Bibi bilang? Dia
dilarang memberitahuku. Ini semua tidak masuk akal. Ada banyak sekali penjelasan
yang kubutuhkan sekarang.
”Apakah, apakah Nak Borno akan pergi
ke Surabaya?” Bibi bertanya ragu-ragu.
” Tentu saja!” aku berseru pada
Bibi.
”Eh, Nak Borno tidak akan bilang ke
mereka kalau tahu dari Bibi, kan?
”Itu tidak penting, Bi. Aku tahu dari
siapa itu tidak penting. Aku seharusnya tahu sejak awal kalau Mei sakit.” Bibi
menunduk. Wajah lelahnya terlihat kalut.
”Satu lagi, Nak Borno. Apakah, Nak
Borno masih menyimpan amplop merah itu?”
”Amplop merah apa?”
”Angpau, amplop merah yang pernah
Nak Borno temukan di dasar sepit? Itu bukan angpau biasa yang terjatuh dari
penumpang, Nak. Bibi tahu kau menemukan amplop itu. Bibi juga tahu kau dulu mencari-cari
Nona Mei untuk mengembalikannya. Itu sungguh bukan angpau biasa. Itu surat dari
Nona Mei, dijatuhkan dengan sengaja oleh Nona Mei sebelum kalian saling
mengenal. Bacalah, Nak, bacalah sebelum kau berangkat ke Surabaya. Itu akan
menjelaskan banyak hal.” Aku terdiam, semakin tidak
mengerti.
”Bibi harus pulang sekarang. Maafkan
Bibi baru memberitahu. Urusan ini pelik sekali. Ternyata bertahun-tahun setelah
kalian saling kenal, bahkan setelah hampir setahun Nona Mei pulang ke Surabaya, kau bahkan tidak pernah tahu
bahwa itu surat. Semoga kau tidak membenci Nona Mei setelah membaca surat dalam
angpau itu. Selamat malam, Nak Borno.” Bibi bergegas meninggalkanku.
Malam itu aku benar-benar tidak bisa
memicingkan mata walau sedetik. Setiba di rumah, aku langsung berlari masuk
kamar. Aku membongkar lemari pakaian, mencari amplop merah yang dulu kutemukan
di dasar sepit. Tanganku gemetar merobek ujung amplop yang masih dilem rapi.
Bibi benar, ini bukan angpau.
Tanganku gemetar menarik keluar isi amplop. Bukan uang, melainkan dua lembar
surat. Ditulis tangan. Pojok kiri atas, tertulis rapi: Untuk Abang Borno. Aku menahan napas. Dadaku berdetak lebih
kencang. Malam itu aku benar-benar tidak bisa memicingkan mata walau sedetik. Akhirnya
semua penjelasan kudapatkan
Abang
pastilah bertanya-tanya, siapa yang telah mengirimkan surat bersampul merah ini. Perkenalkan,
namaku Mei, aku dulu dibesarkan di Pontianak, hingga usia dua belas, sebelum
pindah ke Surabaya. Abang pastilah tidak mengenalku, tetapi aku amat mengenal
Abang, bahkan jauh-jauh hari sebelum aku magang di sekolah yayasan. Abang tahu,
berminggu-minggu aku sengaja naik sepit, dan selalu berharap naik sepit yang
Abang kemudikan. Aku berkali-kali ingin menyapa, tapi itu ternyata tidak mudah
dilakukan. Bibir selalu kelu memulainya,
tangan terasa kaku dijulurkan, jadilah aku lebih banyak diam, menatap sembunyi-sembunyi.
Sejujurnya, bahkan kenapa aku memilih magang di kota ini, karena ingin bertemu
Abang. Sayangnya, setelah bertemu, setelah jarak kita begitu dekat,
aku malah
tidak kunjung berani menyapa Abang.
Bibi, orang
yang mengasuhku sejak kecil, akhirnya menyarankan agar aku menulis sepucuk
surat untuk Abang. Saran Bibi, jika aku juga tidak berani menyerahkannya secara
langsung, jatuhkan saja di dasar sepit yang Abang kemudikan, Abang pasti
menemukannya, dan berdoalah Abang akan membacanya. Maka, inilah surat itu. Aku
berharap, sungguh berdoa, semoga setelah Abang membaca surat ini, Abang tidak
membenci keluarga kami, tidak membenci Mama, tidak membenci Mei. Maafkan
keluarga kami, Abang.
Kami dulu
tinggal di Pontianak, Abang. Mamaku dokter, dia juga salah satu pendiri
yayasan, pengelola kompleks sekolah tempat aku magang. Sedangkan Papa, dia
sibuk dengan bisnisnya. Aku ingat sekali, masa kanak-kanak yang menyenangkan.
Aku dulu nakal, sembunyi-sembunyi membawa boatPapa, berkelahi dengan anak sekolah
lain, bahkan mencuri mangga. Tapi itu masa-masa yang menyenangkan. Selalu ada
Mama yang membelaku.
Mama adalah
segalanya bagiku. Dia cantik dan pintar. Dia selalu membelikan buku-buku yang
bagus. Kata Mama, ’Berikanlah hadiah buku kepada seseorang yang amat
kauhargai.’ Mama selalu menemaniku beranjak tidur, selalu memasakkan makanan
yang enak. Hanya satu yang Mama larang dariku, memakan cokelat, permen, dan
yang manis-manis. Di luar itu boleh. Dia segalanya bagiku.
Hingga
usiaku 12 tahun. Aku sungguh tidak tahu apa yang telah terjadi, tiba-tiba Mama
jadi pendiam. Mama sering ditemukan melamun sendirian, menangis sendirian, dan
berteriak-teriak tanpa alasan. Hanya soal waktu, Mama jatuh sakit tanpa
penjelasan. Sakit berkepanjangan, berbulan-bulan. Tubuhnya jadi kurus kering,
wajahnya pucat, rambutnya rontok. Aku sedih sekali melihat wajah tirus Mama,
tubuh lemahnya, tapi tidak mengerti apa yang telah terjadi. Enam bulan Mama
jatuh sakit, tidak kunjung sembuh.
Papa
memutuskan pindah ke Surabaya. Keluarga besar kami pindah. Semua dikemasi,
tidak ada yang tersisa, kecuali Bibi yang tinggal, merawat rumah di Pontianak.
Aku bahkan tidak sempat berpamitan dan bilang ke teman-teman kenapa pindah.
Semua alasannya gelap. Hilang sudah masa kanak-kanakku yang menyenangkan. Hari-hariku
lebih banyak dihabiskan menyaksikan tubuh Mama yang semakin layu, melihat Mama
yang semakin tidak dikenali. Sakit Mama lama sekali, bertahun-tahun, hampir
tiga tahun, hingga Mama pergi selama-lamanya. Aku sungguh tidak tahu Mama sakit
apa. Papa bilang, Mama baik-baik saja. Dari menguping percakapan dokter, mereka
bilang Mama depresi berat, memikul beban perasaan
yang terlalu
berat. Aku tidak mengerti, bukankah Mama selama di Pontianak terlihat amat
bahagia? Apanya yang membuat Mama depresi hingga fisiknya ikut sakit sedemikian
rupa? Hingga kami harus pindah dari sana.
Setahun
silam, persis pada lima tahun peringatan kepergian Mama, Bibimengirimkan kardus
buku milik Mama yang tertinggal di Pontianak. Kupikir itu hanya koleksi buku
biasa, ternyata tidak, Aku menemukan buku harian Mama terselip di dalamnya.
Abang,
sungguh maafkan keluarga kami. Maafkan Mama yang telah menyakiti keluarga
Abang. Ternyata Mama adalah dokter yang melakukan operasi jantung dini hari
itu. Mama-lah yang memutuskan apakah bapak Abang Borno telah meninggal atau
belum secara medis. Mama yang membedah dada bapak Abang Borno. Dari catatan harian
itu, aku tahu, operasi itu seharusnya tidak pernah dilakukan. Mama dibutakan
dengan ”prestasi”, ”tinta emas”, dan sejenis itulah jika dia berhasil. Mama sebenarnya
tidak pernah yakin, bahkan dari catatan itu, Mama mengaku dia bisa saja menyelamatkan
bapak Abang Borno, tapi dia memutuskan sebaliknya, operasi itu harus dilakukan.
Itulah yang membuat Mama tiba-tiba berubah. Saat melihat Abang Borno menangis
sendirian di lorong rumah sakit, saat melihat ibu Abang Borno berusaha memeluk
Abang, kesadaran itu datang. Sungguh, apa hak Mama mengambil kehidupan
seseorang, lantas memberikannya ke orang lain? Apa hak Mama membuat keluarga
Abang kehilangan seseorang yang amat kalian cintai? Itulah penjelasan yang terlambat datang,
ditulis berkali-kali di buku harian Mama.
Sejak saat
itu, kondisi Mama memburuk dan fisiknya menyusul jatuh sakit. Papa akhirnya
memutuskan pindah ke Surabaya, berharap penyesalan tentang operasi itu berkurang
sedikit. Sia-sia, kondisi Mama terus memburuk. Itu sungguh masa paling sulit
bagi keluarga kami, Abang. Aku besar dengan seluruh kesedihan, menyaksikan Mama
terbaring di ranjang selama tiga tahun. Tetapi itu mungkin harga yang pantas, huku
man yang harus kami terima, karena keluarga Abang lebih menderita lagi, dan
kamilah penyebabnya.
Setelah
membaca buku harian Mama, aku memutuskan untuk menemui Abang. Aku sengaja
magang di sekolah milik yayasan, kembali ke Pontianak. Papa melarangku, tapi
keputusanku sudah bulat. Aku tidak bisa mengembalikan situasi, sama sekali
tidak bisa, tapi aku sungguh berharap bisa menyapa Abang Borno. Aku tidak
berharap banyak, hanya ingin menyapa. Abang bisa jadi malah membenci kami. Tetapi
tidak mengapa, setidaknya aku m
enyampaikan permintaan
maaf Mama yang tidak pernah tersampaikan. Sungguh maafkan Mama, Abang. Maafkan
aku. Sungguh maafkan kesalahan besar keluarga kami.
Dari Mei.
Tanganku gemetar, dua lembar surat
Mei terlepas. Ya Tuhan, aku sama sekali tidak menduga isi surat ini akan seperti
itu.
Epilog
”Maju satu sepit lagi!” petugas timer
macam Rocker kelas kampung berteriak lantang.
”Woi, Borno! Majulah sepit kau itu!”
Jauhari, yang antreannya persis di
sebelahku, memukul dinding sepitku, ikut mengingatkan.
Aku meletakkan buku tanggung sekali,
tinggal satu halaman lagi. Aku menarik tuas mesin. Kipas propeler berputar
cepat. Gelembung air muncrat ke permukaan sungai. Sepitku anggun merapat ke bibir
dermaga.
Apakah aku tetap menemui Mei, enam
bulan lalu? Aku bahkan berangkat ke Surabaya dengan penerbangan pertama. Lantas
menumpang taksi, menuju rumah besar itu. Belum tidur, belum makan, bahkan belum
mandi sejak aku membaca surat dalam angpau merah.
Mei terbaring lemah saat aku
melangkah masuk ke kamarnya, diantar salah satu perawat. Tubuhnya kurus.
Wajahnya pucat. Rambutnya rontok. Dia tergugu melihatku. Sambil menahan air
mata agar tidak tumpah, aku lembut memegang jemarinya.
”Kau tahu, Mei. Dulu aku pernah bertanya
pada Pak Tua, ‘Kalau untuk Andi, Pak Tua punya kalimat bijak dan cerita hebat
cinta yang cocok baginya, lantas untukku, apakah Pak Tua juga punya?’ Pak Tua
tersenyum, menepuk bahuku, ‘ Tentu ada,
Borno. Tentu ada. Tapi aku akan membiarkan kau sendiri yang menemukan kalimat
bijak itu, kau sendiri yang akan menulis cerita hebat itu. Untuk orang-orang
seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, maka
definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amatberbeda, amat menakjubkan.’
Kau tahu, Mei. Hari ini aku mengerti kalimat Pak Tua.”
”Aku berjanji akan selalu mencintai
kau, Mei. Bahkan walau aku telah membaca surat dalam angpau merah itu ribuan
kali, tahu masa lalu yang menyakitkan, itu tidak akan mengubah apa pun. Bahkan
walau satpam galak rumah ini mengusirku, menghinaku, itu juga tidak akan
mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau
tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas,
maka siapa lagi yang bisa kaupercaya?” Mei menangis bahagia mendengar kalimat
itu.
Sejak hari itu, tidak ada lagi sendu
nan misterius di wajahnya. Dia sama riangnya dengan seluruh gadis di Pontianak,
tempat dia kembali mengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar