Kamis, 29 Maret 2018

Rangkuman Per Bab Novel "Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah" karangan Tere Liye





Prolog
Usia enam tahun, aku suka memikirkan hal-hal aneh. Salah satunya aku pernah sibuk memikirkan: Jika kita buang air besar di hulu Kapuas, kira-kira butuh berapa hari kotoran itu akan tiba di muara sungai, melintas di depan rumah papan kami?
”Kau ada-ada saja, Borno. Urusan kotoran saja kau lamunkan.”  Bapak bukannya menjawab, malah tergelak, sibuk membereskan jaring. Aku pindah bertanya pada Ibu.
”Borno, jangan tanya macam-macam! Melihat tingkah kau satu macam saja Ibu sudah pusing.” Ibu melotot, menyuruhku bergegas mengantar pesanan.

Tiba di rumah Koh Acong pemilik toko kelontong yang menghadap persis Sungai Kapuas, aku bertanya sambil menjulurkan setampuk ikan segar.
”Koh, berapa panjang Kapuas?”
”Mana aku tahu.” Koh Acong yang sedang repot melayani nelayan yang berbelanja keperluan rumah setelah pulang melaut tidak memedulikanku.
”Koh pernah ke hulu Kapuas?” aku mendesak.
”Haiya, kau tidak lihat aku sibuk? Berapa liter gulanya? Satu setengah? Kau jadi ambil karung goni berapa? Tiga? Ah iya, semuanya jadi 149.650 perak.” Koh Acong menceracau rincian belanja dan harga.
”Kau menganggu saja, Borno. Bawa ikannya ke belakang sana. Jangan taruh di atas etalase kaca mahalku.” Koh Acong melotot sambil mereken uang kembalian, tidak peduli. Aku bersungut-sungut membawa ikan ke bagian belakang toko kelontong. Istri Koh Acong sedang menyalakan kompor, tertawa senang melihatku membawa ikan segar. Dia pun menyerahkan uang. Masih sisa dua tampuk, aku harus bergegas.
Tiba di warung makan Cik Tulani, masih terhitung paman jauhku, pertanyaan itu tetap memenuhi kepala. Kutanyakan pada Cik Tulani.
”Kau tanya apa tadi, hah?”
”Cik pernah ke hulu Kapuas?”
”Belum pernah.”
”Cik tahu di mana hulu Kapuas?”
” Tidak tahu.”
Cik Tulani tidak peduli. Dia justru sibuk mengocehkan protes setiap kali aku mengantar ikan. Semua orang di tepian Kapuas juga tahu Cik Tulani memang suka mengomel.
Aku bergegas membawa tampuk ikan terakhir ke tujuan berikutnya. Pak Tua sedang duduk takzim menunggu di atas sepit. Sepit (dari kata speed) adalah perahu kayu, panjang lima meter, lebar satu meter, dengan tempat duduk melintang dan bermesin tempel.
”Kau sepertinya sedang memikirkan sesuatu, Borno. Kalau orang tua ini boleh tahu, apa itu?” Pak Tua menyeringai, memutus lamunanku. Selain memang menyenangkan dan berpengetahuan luas, Pak Tua pandai membaca raut wajah.
”Pak Tua pernah ke hulu Kapuas?”
”Sering. Waktu aku masih muda.” Tidak perlu sedetik, Pak Tua menjawab mantap.
”Berapa jauh jaraknya, Pak?”
”Jauh sekali, Borno. Berkelok-kelok, beratus-ratus cabang anak sungai, terus masuk ke pedalaman Kalimantan. Tidak terbayangkan betapa eloknya.”
”Berapa hari perjalanan dengan perahu, Pak?” Aku makin antusias.
”Tergantung perahu kau. Perahu besar, buatan tukang terbaik, akan lebih cepat. Sebaliknya, kalau hanya sepit macam ini, hanya tinggal papannya saja yang sampai di hulu.”
”Woi, Pak Tua! Giliran sepit Pak Tua mengisi penumpang!” Petugas timer meneriaki Pak Tua. Pak Tua tertawa, segera menyalakan mesin tempel.
”Salam buat Bapak dan Ibu, Borno. Terima kasih untuk ikannya.” Sepit Pak Tua sudah merapat anggun ke dermaga kayu. Aku hanya bisa menatap sebal.
Usia dua belas, aku mengalami hari terburuk dalam hidupku. Bapak tercinta, nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga, terjatuh dari perahu saat melaut. Bapak jatuh, tersengat ubur-ubur. Sengatan hewan itu membuat Bapak kejang seketika. Nelayan lain yang menyertai Bapak tahu, hanya soal waktu detak jantung Bapak terhenti.
Pagi buta itu Ibu membangunkanku. Kami segera pergi menuju RSUD Pontianak. Kami berlari-lari kecil memasuki rumah sakit. Tidak ada yang memedulikanku. Aku duduk di lantai, menatap kosong petak keramik, dinding, dan lampu neon. Beberapa perawat dan dokter menyusul masuk ke ruang gawat darurat. Tampang mereka bukan kabar baik.
Di depanku tiba-tiba sudah berdiri seorang gadis kecil, seumuranku. Aku tidak peduli, mungkin anggota keluarga pasien lain. Gadis itu justru menatapku, lamat-lamat. Aku melirik selintas, rambutnya dikepang dua, wajahnya keturunan Cina, matanya redup oleh kesedihan.
Lihatlah, Bapak tergeletak tidak berdaya di atas ranjang. Dokter menghela napas, bilang tidak ada solusi. Ibu tertunduk mendekap bahuku Astaga. Bukan tidak ada lagi solusi yang membuatku tiba-tiba sesak. Tetapi entah apa yang ada di kepala Bapak, sebelum tubuhnya benar-benar berhenti bekerja, Bapak mendonorkan jantungnya.
”Bapak belum mati!” aku berteriak marah.
”Bapak kau tahu persis apa yang dia lakukan, Borno.” Ibu bersimbah air mata memelukku erat-erat.

Bab 1
Pagi kota kami terlihat sibuk semakin sibuk saja malah. Aku melangkah menuju mulut gang, Aku terus berjalan menelusuri gang sepanjang Kapuas. Beberapa tetangga menyapa, aku mengangguk samar.
”Berangkat kerja, Borno?” Aku menyengir, mengiyakan.
”Mana seragam keren kau itu, Borno?”Aku tertawa kecut.
”Gagah sekali kau, Borno. Belum mandi saja sudah segagah ini.”
” Tutup mulut.” Aku pura-pura mengacungkan tinju, terus melangkah.
”Berangkat kerja, Borno?” Dua belas langkah berikutnya, suara khas itu menyapa. Andi, teman baikku, sepagi ini sudah berkutat oli dan jelaga. Dia bekerja pada bapaknya yang punya bengkel motor sekaligus cuci salju.
‘’Ye lah, berangkat kerja.” Aku mengangguk, berhenti sebentar, memperhatikan serakan onderdil motor yang dilepas.
”Sudah berapa kali kau gonta-ganti pekerjaan, Borno. Macam tidak ada tempat yang bisa membuat kau betah.” Bapak Andi yang mengunyah pisang goreng sambil mengawasi anaknya bekerja bertanya menyeringai. Aku mengangkat bahu, tidak berminat menjawab.
Setelah Bapak meninggal, sepuluh tahun lalu, ajaib, aku tetap bertahan sekolah hingga SMA. Sebulan lulus dari SMA, setelah sibuk melamar pekerjaan, salah satu pabrik pengelolaan karet yang banyak terdapat di tepian Kapuas menerimaku. Itu tempat bekerja pertamaku, dengan seragam berwarna oranye.
Di penghujung bulan keenam, tanpa kabar burung, puluhan buruh mendadak dirumahkan. Mesin penggiling karet berhenti. Pabrik tutup total. Padahal, jujur, aku mulai  terbiasa dengan bau busuk karet meski tidak jatuh cinta. Aku kehilangan pekerjaan.
Esoknya, aku berangkat ke kantor syahbandar Pontianak. Tetanggaku memberitahu bahwa ada lowongan pekerjaan di sana. Berkas lamaranku diterima, aku bahkan siangnya langsung dipanggil wawancara, di ruangan besar  pejabat syahbandar.
“Kau terlalu muda, Nak, baru lulus SMA. Kenapa kau tidak melanjutkan sekolah?“ Aku menggeleng perlahan, bilang justru dengan bekerja aku berharap kuliah.
Pak pejabat syahbandar tersenyum lebar. ”Kau tipikal anak muda yang mandiri, Borno.” Pak pejabat mengembalikan map merah, menyalamiku. Ditolak. Aku kecewa. Mau apa lagi? Tetapi setidaknya, aku memperoleh rujukan darinya.
Besoknya aku berangkat ke dermaga feri Pontianak.
Aku menumpang perahu tempel Bang Togar menyeberangi Kapuas.
”Kau sebenarnya mau ke mana? Tanya Bang Togar.”
“Aku mau ke dermaga feri.”
”Dermaga feri? Astaga? Apa pula urusan kau ke tempat itu?” Seringai Bang Togar yang biasanya ramah selalu, langsung terlipat, seketika masam.
Aku ragu-ragu menjawab. Ada yang ganjil dengan tampang galak Bang Togar. ”Eh, aku, hendak melamar pekerjaan, Bang.”
”Astaga? Apa kau bilang?” Bang Togar terlonjak dari buritan sepit, hampir terjengkang ke dalam air. Aku takut-takut mengangguk. Bang Togar ini bertubuh besar
”Tiga turunan, Borno. Tiga turunan. Kau ingat itu baik-baik.” Bang Togar kasar menunjuk hidungku. Aku tercengang belum mengerti. Apanya yang tiga turunan? Ternyata inilah yang membuat rumit urusan pekerjaan keduaku, bagai benang kusut.

Bab2
Sejak zaman dahulu, sepit sudah menjadi primadona. Ke mana-mana penduduk kota Pontianak naik sepit. Zaman berubah. Jembatan besar yang hanya ada dalam angan selesai dibangun. Hadirnya jembatan beton di kota Pontianak sedikit-banyak  mengurangi kehebatan sepit. Namun, di luar jembatan beton ini, masih ada yang menjadi pesaing sepit, apalagi kalau bukan pelampung. Benar, pelampung inilah yang membuat Bang Togar mencak-mencak mendengar kabar aku diterima bekerja di dermaga feri
Dua minggu bekerja di dermaga feri, situasinya semakin runyam. Setiap berangkat dan pulang kerja aku terpaksa menumpang angkutan umum, dua kali ganti kendaraan, waktu
terbuang percuma, dan ongkos lebih mahal. Bang Togar dan persatuan sepitnya sekarang malah memasang surat keputusan melarangku naik sepit. Dia melaminating dan menempel fotoku besar-besar di dermaga kayu.
Aku tidak mau dilibatkan lebih lanjut. Urusanku selesai dengan menyerahkan surat berhenti. Aku menemui pejabat syahbandar, bilang amat menyesal dan minta maaf, satu bulan pun tidak bertahan. Pejabat syahbandar yang memberikan rekomendasi, mengelus dahi.
”Tidak mengapa, Borno. Bukan masalah besar. Kalau kau mau, aku bisa mencarikan kau pekerjaan baru. Ah iya, ada kenalanku, pengusaha besar di Pontianak. Hebat sekali orang ini, bisnisnya hanya urusan ludah-meludah, tapi kaya raya. Dia punya gedung di setiap jengkal kota Pontianak. Kau mau bekerja padanya?”
Urusan ludah-meludah ini apalagi kalau bukan sarang burung walet. Tidak. Aku tidak akan bekerja di sana. Sebaik apa pun pemiliknya, sebanyak apa pun gajinya, sesederhana apa pun pekerjaanku, ayolah, apanya yang sederhana kalau aku harus berhadapan dengan ribuan burung dalam ruangan tertutup dan gelap?
Enam bulan terakhir kuhabiskan dengan kerja serabutan. Membantu Cik Tulani di warungnya, menunggui toko kelontong Koh Acong, ikut melaut mencari sotong, toilet mampet, jendela lepas, bahkan mencari kucing hilang.

Bab3
Warung di pojokan dermaga kayu mengepulkan aroma pisang goreng, lezat menggoda. Anak-anak berseragam bergerombol menunggu sepit berikutnya.
”Pagi, Borno. Aku mengusulkan agar kau menjadi pengemudi sepit, ibu kau menyetujui, Tulani dan Acong mendukung.”
”Aku tidak akan melanggar wasiat Bapak, Pak Tua.”
”Siapa yang minta kau melanggarnya?” Pak Tua tertawa.
”Bagaimana mungkin aku tidak melanggarnya?” Aku melipat dahi.
”Bagaimana mungkin Pak Tua tidak paham? Bapak berpesan padaku, kalau aku nanti besar, jangan pernah jadi nelayan, jangan pernah jadi penge...”
”Jamak itu, Borno” Pak Tua memotong kalimatku, menggelengkan kepala.
”Lazim sekali seorang petani bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan jadi petani, tidak bisa kaya.’ Seorang guru SD bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan jadi guru, hidupnya susah, makan hati pula.’ Seorang kuli kasar bilang ke anaknya, ‘Nak, jangan pernah jadi kuli, keringat diperas, gaji tak memadai.’ Tetapi maksud mereka tidaklah demikian. Hakikat sejati pesan itu adalah agar kau jadi lebih baik. Nah, ketika almarhum bapak kau bilang wasiat itu, ‘ Borno,
jangan pernah jadi pengemudi sepit,’ maka bukan berarti dia melarang kau menjadi pengemudi sepit. Percayalah pada orang tua ini, Borno, bapak kau pastilah mengizinkan kau menjadi pengemudi sepit seperti yang kami bicarakan.”
Aku terdiam. Ya, itulah wasiat Bapak dulu. Aku butuh dua minggu berpikir matang, menimbang-nimbang. Aku akhirnya memutuskan, aku akan memulai kehidupan sebagai: pengemudi sepit. Sungguh, meski melanggar wasiat Bapak, aku berjanji akan jadi orang baik, setidaknya aku tidak akan mencuri, tidak akan berbohong, dan senantiasa bekerja keras meski akhirnya hanya jadi pengemudi sepit.

Bab 4
Dua hari terakhir, di penghujung kursus mengemudi sepit, aku punya pertanyaan penting. Sudah dua kali kutanyakan pada Pak Tua, dan dua-duanya dijawab sama. Kalau aku sudah khatam belajar mengemudi sepit, lantas sepit siapa yang akan kubawa tarik? Zaman keemasan sepit sudah berlalu, tidak banyak pemilik sepit yang punya lebih dari satu perahu tempel seperti halnya juragan opelet.
Pak Tua bilang, ” Tak usah cemas. Paling sial kau bawa sepit milikku, Borno.”  Aku keberatan. Lantas Pak Tua menarik pakai apa?
”Ah, justru sudah lama aku ingin berhenti. Kakiku ini sudah sering kram karena asam urat.” Aku tetap keberatan. Lantas dari mana Pak Tua mendapatkan nafkah?
”Ya dari setoran kaulah.” Pak Tua tertawa lebar. ”Kita bagi separuh-separuh dari penghasilan bersih sehari. Cukup adil, bukan?”
Pagi istimewa akhirnya tiba, hari kelulusanku. Pak Tua tertawa melihatku datang di dermaga pagi buta. Waktu berlalu begitu cepat. Dermaga sudah sepi penumpang, yang ada hanya pengemudi sepit berdiri bersama Bang Togar. Eh, kenapa Cik Tulani dan Koh Acong juga ada di sini? Mereka sepertinya tidak terlihat mau bepergian, justru terlihat menungguku.
”Nah, Borno, resmi sudah kau jadi bagian dari kami.” Bang Togar, lain dari biasanya malah tertawa. Pengemudi lain, Cik Tulani, Koh Acong, dan Pak Tua bertepuk tangan.  Tanpa kusadari sejak naik dermaga tadi, di sana telah tertambat satu sepit baru nan mulus, bercat biru, gagah nian diterpa cahaya matahari pagi.
”Ini sepit kau, Borno.” Bang Togar membentangkan tangannya, ber kata penuh perasaan. ”Kau tahu, kakek kau dulu rela berutang ke mana-mana untuk membantu pengemudi sepit gang ini bertahan hidup. Pagi ini, kami tidak akan membiarkan cucu kakek kau tidak punya sepit.”
Aku masih kehilangan kata-kata, menatap silih berganti sekitar, setengah tidak percaya. Benarkah itu sepit milikku? Ini mimpi?
”Ini rencana Togar,” Pak Tua berbisik di tengah keramaian seruan-seruan antusias. ” Togar yang meminta pengemudi, penghuni gang, bahkan para penumpang mengumpulkan sumbangan. Perayaan kecil khatam belajar mengemudi dan penyambutan sepit baruku sepertinya baru akan selesai satu-dua jam lagi. Hingga tiba-tiba, petugas timer meneriakiku yang basah kuyup.
”Hoi! Ada barang penumpang tertinggal di sepit kau, Borno.” Aku menoleh, merapikan rambut basah di dahi.
”Barang apa?” tanyaku pada petugas timer yang mendekat.
”Kau tadi memangnya tidak memeriksa dasar perahu?”
”Ah, Borno paling juga hanya tajam melihat gumpalan uang.” Pengemudi lain menggoda, tertawa. Aku hendak tertawa, tetapi mulutku menutup. Ini apa?
”Kutemukan di bangku paling depan, tergeletak di bawah papan melintang. Kau masih ingat siapa yang duduk di bangku itu, Borno?”
Aku terdiam. Telingaku tidak lagi mendengarkan pertanyaan petugas. Mataku sibuk menatap lekat-lekat benda yang kupegang. Alamak, ini surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama. Surat? Untuk siapa?

Bab 5
Surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama itu menjadi bahan percakapan seru hingga beberapa hari kemudian. Pertama-tama dengan sohib dekatku.
”Mana kulihat?” Andi mengelap-elapkan tangannya yang berlepotan oli, ingin tahu.
Aku melotot. ”Mana bolehlah tangan kotor kau pegang surat ini?”
”Ye lah, ye lah, sebentar.” Andi menyengir sebal.
Aku pun mulai bercerita. Dimulai dengan pengalaman membawa penumpang pertama kali. ”Aku gugup, Kawan.” Ceritaku semangat. Andi hanya mengangkat kepala sejenak, tidak peduli. Aku mendengus kecewa.
Kulanjutkan dengan surprise dari Bang Togar, musuh besarku, juga orang yang dibenci Andi. ”Sepit itu indah sekali. Sudah diberi nama Borneo, elok tak?” Ceritaku menggebu-gebu. Andi hanya menyeringai, sisa perhatiannya kembali ke motor besar. Aku mendengus sebal. Nah, kututup dengan cerita tentang gadis berbaju kurung kuning, mengembangkan payung merah, rambut tergerai panjang, wajah sendu menawan. Belum genap aku membagi deskripsi,  kepala Andi sudah terdongak, matanya menyala seratus watt.
”Apa kau bilang tadi, Borno? Sendu menawan?” Aku tertawa.
”Hoi, apa yang mau kaulakukan?” Aku mencegah.
”Melihat isi surat lah. Biar tahu ini punya siapa.” Andi memasang wajah tanpa dosa.
”Dasar tidak sopan.” Aku merampas surat itu.
”Kau tidak boleh merobek bahkan mengintip dalamnya. Ini surat milik orang lain.”
”Kau mau ke mana?” Andi sekarang panik.
”Pulang, sudah larut. Habis kau sibuk dengan motor. Lebih
baik aku tidur. Besok pagi-pagi aku harus menarik sepit.”
” Tega kali kau, Borno.” Wajah Andi nelangsa.
” Tega apanya?”
”Hanya datang mengganggu konsentrasiku memperbaiki motor. Sekarang setelah berhasil, kau pulang, membiarkanku merana dirundung ingin tahu. Sinikan surat merah itu. Aku harus melihat isinya,” Andi berseru galak. Akupun pulang.
Aku memulai hari dengan semangat, bukan semata-mata penasaran soal surat bersampul merah, tapi lebih karena di tiang kolong rumah tertambat si ”Borneo”. Jadi, aku tidak perlu lagi berjalan kaki ke dermaga kayu melintasi gang sempit tepian Kapuas.
Sepuluh menit berlalu, sepitku merapat di antrean perahu. Dermaga kayu mulai dipenuhi satu-dua penumpang. Aku menitip pesan kepada petugas timer untuk memberitahuku jika ada dua gadis SMA atau gadis keturunan Cina yang menaiki sepit.

Bab 6
Kupikir adegan kejar-kejaran dalam film itu bohongan, ternyata tidak. Dalam dunia nyataku itu sungguhan, malah lebih seru. Aku melakukannya dengan sepit, bukan mobil, di sungai, bukan di jalanan kota. Petugas timer seberang mencariku terkait gadis.
Dalam hitungan menit, sepitku sudah merapat di antrean dermaga seberang. Setelah menambatkan sepit dan loncat ke atas dermaga, aku berlari-lari kecil menemui petugas timer.
”Di mana?” aku bertanya, sedikit tersengal.
”Di mana apanya?” Petugas tidak cepat paham.
”Gadis berbaju kurung kuning itu.” Aku menyeka dahi.
”Oh, si cantik itu. Aku tadi lihat dia di dermaga ini. Lantas ada fiberglass boat putih  merapat, gadis itu naik bersama beberapa anak kecil berseragam putih merah. Dia pergi, wasalam.”
Kukejar kapal itu dari ujung ke ujung, sampai kehabisan solar, ternyata malah terparkir rapi di dekat antrean sepit. Kalau begitu, gadis berbaju kuning itu ada di sekitar sini.
Mataku melihat ke sana kemari. Nah, itu anak-anak sekolahnya. Di mana gadis itu?
”Kau sudah dapat angpaunya, Borno?” Petugas timer berkata riang, menyapa lebih dulu sebelum aku sempat bertanya apa dia melihat gadis yang kucari-cari sejak tadi pagi.
”Angpau?” Dahiku terlipat. Aku mematung. Mulutku terkunci. Aku menoleh ke arah pengemudi lain. Amplop yang sama juga sedang mereka pegang. Dua hari terakhir aku keliru menebak, ternyata amplop merah itu tidak penting. Aku menghela napas panjang, balik kanan, hendak melangkah gontai menuju sepit, menunggu antrean.
”Abang mau terima angpau juga?” suara merdu itu menyapa.
Aku menoleh. ”Eh? Kau memanggilku?” Tubuhku membeku seketika.
Seminggu berlalu, yang kutahu adalah aktivitas gadis itu. Tiba di dermaga kayu pukul 7.15, menyeberang. Dia selalu berpakaian rapi, dengan tas dipenuhi buku tersampir di pundak. Aku mereka-reka, tampaknya pekerjaan gadis ini guru. Menurut hitunganku, antrean sepit nomor tiga belas memiliki peluang terbesar kebagian jatah merapat pukul 7.15 teng.
Bab 7
”Kau sebenarnya kemari buat menyampaikan pesan bapak kau atau memenuhi rasa penasaran kau?” Aku menyeringai, duduk menjuntai, menatap kerlip Kapuas.
”Dua-duanya. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlewati.” Andi balas menyeringai.
Baru pukul tujuh malam, Andi sudah semangat datang ke rumah. Awalnya bilang bapaknya sudah pulang dari Entikong.
”Ada keluarga calon besan yang datang bersama bapakku. Kau diminta mengantar mereka berkeliling kota dengan sepit.” Demikian pesan bapak Andi tersampaikan. Aku menepuk dahi. Kenapa aku yang harus repot? Kenapa tidak bapaknya saja yang mengantar.
Andi balas menepuk dahi. Bapaknya tidak bisa karena besok mau ke Ketapang.
”Kita seharusnya tersanjung mendapat tugas negara seperti ini, Borno, demikian pesan bapakku.” Aku tertawa.
”Bagaimana si ‘sendu menawan’ kau? Sudah tahu namanya?” Aku menggeleng jengkel. Baru malam lalu kami membahasnya, juga malam sebelumnya, malam sebelum-sebelumnya lagi, tidak bosan-bosan dia.
”Astaga? Kau belum tahu namanya juga?” Andi berseru tidak percaya.
”Kau hari ini bertemu dengannya di dermaga?” Andi mengganti pertanyaan. Aku menggeleng. Andi manggut-manggut.
”Ya sudahlah. Kalau begitu, aku pamit pulang. Ingat, besok jam sembilan lepas, Borno. Kau jemput mereka di hotel dekat bioskop.” Andi santai melambaikan tangan.
Bangun pagi, yang pertama kali kupikirkan bukan soal pesan bapak Andi. Itu bisa diurus nanti-nanti setelah aku menyelesaikan satu rit. Aku memikirkan antrean sepit nomor tiga belas. Aku tersenyum riang. Nah, satu penumpang naik, dua, tiga, hanya soal waktu gadis itu akan naik ke sepitku.
”Selamat pagi. Wah, ketemu lagi dengan Bang Borno,” gadis itu menyapaku. Gadis itu tersenyum, lantas duduk di kursi papan melintang paling belakang.
”Jalan, Borno, jangan bengong macam kesurupan si hantu Ponti!” petugas berteriak. Aku bergegas menggerakkan kemudi. Sepitku meluncur ke tengah Kapuas.
”Susah tak mengemudikan sepit, Bang?” gadis itu bertanya.
”Eh? Apa?” Aku berseru.
”Susah tak mengemudikan sepit?” dia mengulang.
”Oh, itu, ini mesin motor pembakaran dalam, internal combustion engine.
”Bebalnye. Kau tak menjawab pertanyaan, Borno.” Ibu-ibu PNS memotong.
”Dia bertanya soal mudah tak mengemudikan sepit, bukan pelajaran tentang mesin. Kuping kau ditaruh di mana?” Aku tersengih merah. Gadis itu anggun menutup mulut menahan tawa. Curi-curi pandang, melirik raut wajahnya, melihat tawa renyahnya, itu sungguh lebih dari cukup. Sudah membuat pagiku terasa indah nian. Sayang, kesenangan itu terputus, dermaga seberang sudah dekat. Aku mengurangi kecepatan, dan satu menit kemudian sepit merapat pelan ke bibir dermaga.
” Terima kasih, Bang.” Gadis itu melangkah ke papan dermaga.
”Sama-sama.” Aku berusaha memasang wajah lurus bagaimanalah mau tersenyum, ibu-ibu berseragam PNS itu sedang memelototiku, seperti melihat laki-laki bajingan saja.
Andi marah-marah. Gara-gara kebanyakan melamun dirubung senyum sendiri di dermaga kayu, aku lupa tugas dari bapaknya.
”Jam sembilan, Borno. Sudah kubilang dua kali tadi malam.” Dia bersungut-sungut.
”Lah, sembilan lewat 59 menit juga jam sembilan, bukan?”
Andi menyikut lenganku, menunjuk lobi hotel, rombongan yang hendak dijemput terlihat celingukan. Tidak ada mobil hotel yang bisa mengantar, Andi mencarter opelet menuju dermaga sepit.
”Hari ini Bapak-Ibu nak melihat ape?” Andi meniru-niru gaya guide profesional.
”Kita ke mana, Borno? Ke pabrik karet tua? Atau ke rumah walet berhantu itu saja?”
Istana Kadariah, itu pilihanku. Rombongan itu berseru-seru senang saat melihat atap istana dari kejauhan. Aku mendengus ke arah Andi, seolah berkata
”Lihat, pilihanku tepat, bukan? Hanya kita-kita saja yang setiap hari melewatinya merasa bangunan ini jamak adanya. Tapi bagi turis, istana ini amat menarik.
”Ya sudah, kau tunggu di sini. Jangan ke mana-mana.” Andi berlalu.
Sebenarnya aku sedang gugup. Lihatlah, tidak jauh dari sepitku, tertambat fiberglass boat berwarna putih itu. Kepalaku berpikit cepat, kalau ada boat ini, jangan-jangan gadis itu ada di sekitar sini? Aku melangkah mendekati boat.
”Abang Borno?” Kakiku hampir terpeleset, bergegas berpegangan di pagar boat. Gadis itu sempurna sudah berdiri di belakangku.
”Eh, kau?” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Sial, kenapa aku jadi gugup begini? Bukankah aku tadi berharap bertemu dengannya?
”Abang mau ke mana?” Gadis itu tersenyum.
”Mencari kau... eh bukan, maksudku mencari tahu secanggih apa kapal ini. Kau ingat,
internal combustion engine macam itulah.” Aku tertawa tanggung, menunjuk-nunjuk fiberglass boat, menyumpahi mulut yang salah ucap.
”Bang Borno kenapa ada di sini? Tidak narik?”
”Eh iya, eh tidak.” Aku menggaruk kepala.
”Abang bawa sepit kemari?” Syukurlah, gadis itu mengerti bahasa anehku. Aku mengangguk, menunjuk dermaga.
”Nah, Abang belum menjawab pertanyaanku tadi pagi, bukan?”
”Pertanyaan apa?” Aku menelan ludah, ikut naik ke sepit.
”Seberapa sulit mengemudikan sepit, Abang?” gadis itu mengingatkan.
”Gampang.”
”Abang mau mengajariku?” Aku menatap gadis di hadapanku. Dia tersenyum, rambut
tergerai di bahu. Ibu, apa yang dia bilang barusan? Mengajarinya mengemudi sepit? Siapa yang akan menolak?
Malamnya, Andi mengamuk. ”Kata bapakku, kau bisa membahayakan perdamaian dua negara,” ketus dia padaku.Aku tertawa.
”Sebenarnya apa yang terjadi sampai kau tega membawa sepit pergi begitu saja dari dermaga istana, hah?” Andi mendengus, matanya menyelidik. Itu pasti kejadian luar biasa sampai Borno yang terkenal lurus perangai mau melakukannya. Aku mengangkat bahu, tertawa lagi.
”Kulihat kau tadi putar-putar di Kapuas bersama seorang perempuan, Borno. Dia mencarter sepit kau?” Setelah keributan di balai bambu agak reda, aku dan Andi berhasil dilerai, Jauhari yang baru bergabung justru santai bertanya. Dan akhirnya semua orang sekitar tau bahwa aku sedang dekat dengan seorang gadis.

Bab8
Pagi hari aku berkunjung ke rumah Pak Tua. Aku mengantarkan makanan dari Ibu.
”Bagaimana kabar gadis kau itu?”
”Gadis apa?””Ah, kau jangan macam kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Gadis mana lagi? Gadis yang membuat kau selalu antre di nomor tiga belas. Coba, berapa kali kau menggeser posisi sepitku?” Wajahku memerah.
”Nah, agar cerita kau ini lebih enak didengar, boleh aku tahu siapa nama gadis itu?” Pak Tua melumuri tangannya dengan jeruk nipis.
” Tidak tahu.” Aku menelan ludah.
”Astaga, bagaimana mungkin gadis secantik itu bernama ‘tidak tahu’?” Pak Tua pura-pura memasang wajah bingung tentu saja dia menggodaku, bukan salah paham atas jawabanku. Aku tertawa kecut. Siapa nama gadis itu? Aku tidak tahu.
”Kau tahu, Borno, aku punya kenalan, semua anaknya diberi nama sesuai bulan kelahiran. Karena semua lahir di bulan yang berbeda, maka bayangkan, ada yang bernama Januari, Februari, hingga November dan Desember. Untung saja anaknya tidak tiga belas.” Pak Tua tertawa, santai meluruskan kaki di kursi. Aku ikut tertawa. Urusan nama gadis itu yang masih misterius, membuatku dan Pak Tua tanpa sengaja malah asyik membicarakan topik yang sama. Hingga malam semakin larut, Pak Tua butuh beristirahat, aku pamit.
Esok hari, kali ini perhitunganku sempurna tepat. Sepit antrean nomor tiga belasku merapat persis ketika gadis itu berdiri paling depan di dermaga.
”Pagi, Abang.”
”Pagi.” Aku memasang senyum terbaik abad ini.
”Aku selalu bertanya-tanya, kenapa ya beberapa hari terakhir, selalu sepit Abang yang kunaiki?” gadis itu bertanya setelah duduk rapi di papan melintang dekat buritan.
Aku gelagapan. ”Eh, iya ya. Itu juga jadi pertanyaanku. Kenapa ya?” Aku buru-buru memasang wajah ingin tahu.
”Jalan, Borno. Sudah penuh. Woi, satu sepit lagi maju!” Aku bergegas menggerakkan tuas kemudi, sepit seperti seekor angsa, meluncur anggun meninggalkan dermaga kayu. Sedari tadi aku meneguhkan hati ingin bertanya tentang sesuatu.
”Eh, nama.” Akhirnya kalimat itu terlontarkan. Lengkapnya maksud ucapanku, ”Nama kau siapa?” Apa daya, ujungnya hilang oleh rasa gugup.
”Nama?” Gadis itu mengangkat kepalanya.
”Eh, iya, nama, kamu tahu kalau ada orang yang bernama Rabu Kliwon?” Aku salah tingkah, bergegas mengambil ide percakapan apa saja yang melintas di kepala.
”Yah, itu nama temanku waktu SMA dulu. Lucu sekali, bu-kan?” Aku tertawa kecil, mencoba mengeluarkan lelucon.Gadis itu sudah bersiap turun dari sepit.
”Namaku Mei,” gadis itu berkata pelan sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
”Eh? Apa?” Aku menatap gadis itu, belum mengerti.
”Namaku Mei, Abang.” Gadis itu beranjak berdiri.
”Meskipun itu nama bulan, kuharap Bang Borno tidak menertawakannya. Terima kasih buat tumpangannya.” Alamak? Tinggallah aku ternganga macam orang sakit gigi di  buritan perahu.
Ketika melintas di dermaga kayu, petugas timer meneriakiku,
”Woi, Borno, ada pesan buat kau!” Aku segera memutar balik sepit yang telanjur melaju dari dermaga.
”Pesan apa?” aku bertanya dari buritan perahu
”Ini, ada surat buat kau.” Petugas timer menyerahkan lipatan kertas.
”Surat? Dari siapa?” Aku menerima lipatan kertas itu. Petugas
timermenggeleng. ”Mana kutahu? Tadi anak berseragam SD yang antar.”
Untuk Abang Borno yang baik—meski baik tapi kadang suka  sok lucu, sok kenal, sok dekat. Kalau Abang tetap bersedia mengajariku mengemudikan sepit, besok pukul sembilan jemput aku di dermaga Istana Kadariah. Jangan telat dan jangan pula datang lebih cepat. Mei.
Tulisan di surat itu pendek saja, tapi cukup membuat tepian Kapuas seketika seperti diterangi seribu lampion, suara burung terasa jadi orkestra, dan hatiku rasa-rasanya mengambang terbang oleh perasaan senang.  Ah, ini ada tambahan pesan di bawahnya:
Nb: Abang harus tahu, lebih jarang orang bernama Sumatra, Jawa, Sulawesi, atau Kalimantan dibanding nama-nama bulan. Jadi, sebenarnya lebih aneh nama ”Borno”, apalagi e-nya hilang gara-gara orang lebih mudah memanggil ”Borno” dibanding ”Borneo”. Sampai ketemu besok siang, Abang Borno alias Abang ”Kalimantan” alias Abang ”bekas sungai”.

Bab9
Esok harinya, baru pukul empat pagi buta, pintu rumah Ibu digedor-gedor. Siapa pula sedini ini sudah jail bertamu? Tega memutus mimpi asyikku.
”Pak Tua, Bu! Pak Tua ditemukan pingsan di depan rumah-nya, Bu!” Teriak Lai, tetangga Pak Tua.
”Borno, bergegas hidupkan sepit kau!” Ibu sudah meneriakiku.
Aku bergegas melempar sarung, menerobos pintu, menuruni anak tangga, lompat ke tambatan sepit di tiang rumah. Suara mesin langsung menggerung.
Tiba di rumah Pak Tua, sudah ada Koh Acong. Dia terlihat menggelengkan kepala, sama cemasnya. ”Tidak akan sempat, kita akan terlambat kalau menunggu dokter. Kau bawa sepit, Borno?” Aku mengangguk.
”Kita bawa segera ke rumah sakit umum.” Koh Acong membuat keputusan. Dalam hitungan detik, sepit meluncur cepat ke dermaga terdekat dari rumah sakit.
Pukul sembilan, beberapa pengemudi sepit datang membesuk. Mereka menanyakan kondisi Pak Tua. Aku menggeleng, belum tahu, belum ada kabar dari dalam ruangan.
Aku teringat sesuatu. Mei? Aduh, bukankah...? Aku benar-benar baru ingat sekarang.
”Ada apa, Borno?” Koh Acong bertanya.
”Aku harus segera pergi, Koh.” Aku menepuk dahi. Bagaimana aku sampai lupa? Mei menunggu di Istana Kadariah pukul sembilan persis.
Halaman luas Istana Kadariah lengang. Tidak ada tanda-tanda dari Mei, sepertinya dia datang, tapi pergi karena aku tak kunjung muncul. Aku memutuskan untuk pergi ke yayasan tempat Mei mengajar. Aku pun mendapatkan alamat rumah Mei dari Ibu Kepala yayasan.
Pukul empat sore, dua jam dari gedung yayasan, langit-langit kota masih terasa gerah.
”Nah, ini dia alamat yang kaucari,” sopir opelet berseru ke belakang.
”Tidak salah lagi, Pak?” Aku menatap rumah dengan halaman luas.
” Tidak ada lagi nama jalan itu selain yang ini di kota Pontianak.” Aku turun.
Aku menatap rumah di hadapanku. Amboi, aku menelan ludah, apa aku tidak salah alamat? Alangkah besar rumahnya! Pintu pagar tidak dikunci, aku menggesernya, melangkah masuk. Aku sudah di depan pintu. Tanganku baru terjulur separuh, hendak mengetuk.
”Abang Borno?” Gadis itu keluar sambil menyeret koper, kaget bercampur bingung.
”Mei?” Aku menelan ludah.
”Apa yang Abang lakukan di sini? Tadi di dermaga, beberapa pengemudi sepit bilang kalau Pak Tua masuk rumah sakit. Kupikir Abang lebih memilih menemani Pak Tua dibanding mengajariku mengemudikan sepit. Jadi aku memutuskan pulang dari Istana Kadariah, tidak menunggu lama.”
”Aku, aku sebenarnya ke Istana Kadariah.”
”Abang ke sana? Aduh, maaf.” Wajah gadis itu sedikit berubah.
”Sebenarnya, sebenarnya aku yang hendak minta maaf. Baru datang ke Istana Kadariah setengah dua belas. Dari pagi aku mengurus Pak Tua, lupa kalau ada janji denganmu. Aku pikir kau bakal marah, jadi kuputuskan mencari tahu alamat rumahmu, untuk minta maaf.” Gadis itu terdiam sejenak, lantas tertawa.
”Kau hendak ke mana?” aku bertanya setelah diam sejenak.
”Surabaya, Abang. Nah, itu mobil jemputannya datang.”
Aku menatap bergantian, koper, mobil hitam mengilat yang masuk ke halaman, dan wajah gadis itu.  Aku tidak tahu harus bilang apa. Gadis itu masuk ke dalam mobil.
”Nah, aku harus bergegas. Sampai ketemu lagi, Bang Borno.”
” Tunggu!” aku akhirnya membuka mulut, berseru pelan.
”Iya?” Gadis itu menatap dari dalam mobil.
”Eh, kapan, kapan kita bisa bertemu lagi?” Aku menelan ludah.
”Semoga dalam waktu dekat, Abang. Nah, aku harus segera berangkat. Tetap semangat menarik sepit, Abang.”  Hanya itu pesan terakhir Mei.
Selepas kalimat itu, Mei melambaikan tangan. Mobil bergerak meninggalkan halaman
rumah, meninggalkanku yang berdiri mematung.
Bab 10
”Ini motor tempel siapa?” Aku ikut jongkok, di depan Andi yang sedang mengutak-atik mesin. Aku sedang malas menarik sepit, lalu memutuskan mampir ke bengkel Andi.
”Milik Bang Jau.” Andi menjawab sekilas
”Kau salah melepasnya, Andi. Terbalik.” Bapak Andi, yang sejak tadi mengawasi pekerjaan Andi, menunjuk onderdil motor tempel yang hendak dilepas.
”Apanya yang rusak?” Lima menit hening, aku bertanya.
”Belum tahu,” Andi menjawab ketus. Aku menyeringai, bapak Andi juga terlihat menyeringai mungkin bosan melihat anaknya masih berkutat menganalisis, mendiagnosis kerusakan, tanpa kemajuan berarti.
”Kalau mogok, biasanya ada hubungannya dengan bahan bakar atau pemantik mesinnya,” aku menceletuk.
”Kau jangan sok tahu.” Andi meremehkan.
Namun bapak Andi tidak, dia menatapku. ”Dari mana kau tahu soal itu?”
”Dari buku panduan motor tempel yang diberikan Pak Tua.”
Bapak Andi manggut-manggut. ”Nah, kau dengar apa kata Borno. Jangan malah memeriksa propeler dan sebagainya. Tidak nyambung.” Andi merengut, melirikku sebal, sekilas melirik bapaknya takut-takut.
”Mungkin fuel pumpnya.” Aku menunjuk bagian pompa bahan bakar.
”Kau jangan merecoki terus, Borno,” Andi berkata ketus.
Namun, bapak Andi menatapku antusias. ”Dari mana kau tahu soal itu?”
”Eh, hanya menebak, Daeng. Dulu pernah lihat-lihat Bang Togar memperbaiki mesin. Lagi pula Pak Tua pernah bilang, logika mesin itu sederhana. Jadi, kupikir kalau dia mendadak mogok, boleh jadi fuel pumpnya kotor, filternya rusak.”
Bapak Andi berbinar-binar. ”Kau berbakat, Borno. Astaga! Ke mana saja kau selama ini?” Lantas menepuk-nepuk bahuku.
”Hanya sedikit orang yang belum pernah belajar tentang mesin  secara mendalam bisa menyimpulkan masalah motor tempel ini hanya dengan melihat selintas.” Aku terdiam. Aku bergantian menatap wajah bapak Andi yang semringah, seperti menemukan ”bakat terbesar” dalam hidupnya, dan menatap wajah Andi yang macam kepiting rebus.
                                                   
Bab 11
Pagi pukul 7.15, aku mengetuk pintu depan. Aku menjenguk Pak Tua.
”Masuk, Borno. Tidak dikunci.” Suara berat khas itu terdengar.
”Sarapan tiba.” Aku menyeringai.
”Kau bawa apa hari ini?”
”Sayur bayam dan bening tahu, Pak.”
”Aku bosan, Borno.”
”Sebenarnya aku juga bosan setiap hari mendengar keluhan Pak Tua soal makanan.” Aku tertawa, melangkah ke dapur.
”Kita sudah bersepakat, mematuhi diet dokter.”
”Ya, ya, tidak ada kompromi, tidak ada pengecualian,” Pak Tua meneruskan kalimatku. Hari kelima belas, Pak Tua boleh pulang. Aku tertawa lebar, berita ini sedikit-banyak berhasil mengusir pikiran tentang Mei. Kepulangan Pak Tua bahkan menjadi kabar bahagia. Rumahnya ramai oleh kunjungan, makanan, dan buah tangan.
Suatu malam aku dan Andi berkunjung ke rumah Pak Tua. Pak Tua bercerita.
” Tersebutlah dua anak manusia, sebut saja mereka si Fulan dan si Fulani, kenal satu sama lain sejak masih merah dalam gendongan. Orangtua mereka sahabat dekat, bertetangga rumah dan berbagi banyak hal. Mereka berada di lingkungan peperangan di Surabaya. Dan orang tua mereka meninggal, Si Fulan dan Si Fulani menjadi anak yatim. Mereka sempat terpisah, bahkan keduanya pernah dipenjara karena dituduh terlibat dengan PKI. Akhirnya mereka bisa bertemu kembali dan hidup bahagia. Yang paling menandakan kehebatan mereka adalah mereka berdua sejaklahir dalam kedaan buta.”

Bab 12
Sepagi ini aku sudah pergi ke dermaga. Mengemudi sepit seperti biasa.
”Kau memang tidak cocok jadi pengemudi sepit, Borno.” Jauhari memecah bengong.
Aku menoleh. Tidak mengerti.
Jauhari mengangkat bahu. ”Lihat, kau masih muda, punya banyak kesempatan. Kau lebih cocok jadi karyawan misalnya, atau malah pemilik bengkel besar.”Aku tertawa.
”Maju lagi satu sepit, woi!” petugas timerberteriak. Giliranku sekarang.
”Nah, pemilik bengkel besar mau narik dulu, Bang.” Aku menyeringai pada Jauhari.
Giliran Jauhari yang tertawa. Ini sudah minggu kedua aku belajar jadi montir.
”Menakjubkan. Kau berbeda dengan kebanyakan montir, Borno.”  Demikian komentar bapak Andi.
”Kau memperlakukan mesin dengan sederhana. Kau tampaknya sudah sedemikian rupa paham, terberikan begitu saja. Memang montir baik selalu begitu, tidak asal bongkar.” Ujung bibir bapak Andi menunjuk Andi yang sedang jongkok di sebelahku.
Setelah enam bulan sejak Mei pergi, ini sungguh kabar hebat. Aku akan pergi ke Surabaya menemani Pak Tua untuk mengikuti pengobatan alternatif. Sebelum pergi, aku sempat meminta alamat Mei di Surabaya kepada pembantu Mei di Pontianak. Namun ia tidak bisa memberikannku alamatanya.

Bab 13
Kapal merapat di Tanjung Perak, Surabaya, pagi buta hari kedua. Setibanya di Surabaya, kami menaiki taksi dan pergi ke sebuah penginapan. Aku menemani Pak Tua berobat. Aku mendapati buku telepon seluruh warga Surabaya di ruang tunggu. Sambil menunggu, aku iseng mencarai nomor telepon yang mungkin saja nomor Mei. Berulang kali ku coba. Namun selalu saja gagal.
Tiga jam berlalu, tinggal hitungan jari nama yang belum kucoret. Aku sudah dua kali menukar uang logam pada petugas parkir, dihitung-hitung koin keberuntunganku tinggal sembilan. Aku merangkai doa ke langit-langit kota, memasukkan koin berikutnya. Tidak dikenal. Koin berikutnya. Tidak ada yang bernama Mei. Koin berikutnya. Bahkan tidak ada yang bernama Sulaiman. Koinku masih tersisa satu, tapi daftar itu akhirnya habis ku coret. Aku menghela napas kecewa

Bab 14
Seperti biasa aku menemani Pak Tua. Kali ini kami lancar menumpang angkot. Pak Tua langsung masuk ruangan terapi. Aku tidak tahu persis bentuk terapi alternatif yang dijalani Pak Tua. Semalam aku tidak sempat mengobrol atau bertanya. Bukan karena Pak Tua sebal gara-gara kutinggal pergi di ruang tunggu, tetapi karena dia langsung tertidur kelelahan usai mandi dan makan malam.
Di ruang tunggu, aku langsung meminjam buku telepon. Ternyata yang namanya Sulaiman, ada juga yang memakai huruf “oe”, Soelaiman. Akhirnya aku pergi ke tempat telepon umum. Aku berdoa saat mulai menekan nomor pertama, semoga hari ini berhasil.  Nada panggil sejenak, telepon diangkat.
”Halo, apakah ini kediaman Bapak Sulaiman?”
”Iya benar. Mau bicara dengan siapa ya?”
”Bisa bicara dengan Nona Mei?”
”Mei? Sebentar ya.”
”Abang Borno?” Alamak? Aku tersedak oleh panggilan itu.
”Apa yang Abang lakukan di sini? Ya ampun, benar-benar kejutan.”
Itu sungguh bukan suara di gagang telepon suara di telepon justru ”Halo? Halo?” bingung karena tidak ada yang menyapa balik. Aku sedang membeku, lihatlah, gadis penyebab semua tingkah bodohku dua hari terakhir telah berdiri anggun di hadapanku, mendorong kursi roda dengan ibu-ibu tua di atasnya.
”Mei?” Hanya itu responsku setelah sepuluh detik mematung,.
”Aku baru tahu, sejak kapan Abang jadi petugas penerima telepon di sini? Sepit di Pontianak ditinggal?” Mei tertawa renyah, bergurau.
”Eh, aku? Aku sedang menelepon kau, eh, maksudku meminjam telepon saja.Aku bergegas menutup buku telepon, celaka kalau dia melihat halaman dengan nama Soelaiman.
”Sejak kapan Abang ke Surabaya? Kenapa tidak bilang-bilang?”
Aku mendesah. Aku justru sedang berusaha bilang, salah siapa dulu tidak meninggalkan alamat.
”Pak Tua, eh, aku menemani Pak Tua terapi asam urat. Sudah dua hari.”
”Oh, Pak Tua.” Gadis itu tersenyum, mengangguk.
Aku melihat Mei sedang mendorong nenek tua yang duduk di kursi roda. Ternyata neneknya juga sedang mengikuti pengobatan juga seperti Pak Tua. Aku, Mei, dan Pak Tua pun bertemu.Kami berencana untuk pergi jalan-jalan di Surabaya esok hari.

Bab 15
Esok harinya, janji pelesir keliling kota. Mei tiba pukul delapan, saat aku dan Pak Tua sudah selesai sarapan. Dia membawa dua payung besar.
”Minggu-minggu ini Surabaya sering hujan, Pak Tua.”
Kami naik angkot. Tujuan kami adalah Jembatan Surabaya Madura, Kota Tua, dan Mesjid Laksaman Cheng Ho.
”Pak Tua hendak ke mana sekarang?” Mei bertanya.
”Jembatan Merah? Grahadi? Kota Tua?” Pak Tua menggeleng. Dia perlahan meraih selembar kertas kecil dari saku celana, menyerahkannya pada Mei.
”Kau bisa mengantarku ke alamat ini?” Mei membaca sejenak, bergumam.
”Aku belum pernah ke lokasi ini, Pak.”
”Tapi kau tahu arahnya, bukan?”
Mei mengangguk. ”Bisa dicari.” Pak Tua tersenyum takzim.
”Nah, mari segera berangkat. Aku ingin menghabiskan sisa hari ini di sana.”
Setengah jam naik angkot ketiga, tibalah kami di perkampungan itu. Pak Tua benar. Andai saja Andi ikut, dia juga akan senang  berkunjung kemari.
Pak Tua melintasi halaman luas dengan rumput terpangkas rapi macam beludru hijau, pohon cemara berjejer. Bagian depan rumah yang kami kunjungi ramai oleh anak-anak yang sedang bermain musik.
Seseorang sebaya Pak Tua, mengenakan kacamata biasa, kalian tidak akan menyangka dia buta. Dia menyentuh bahu, leher, dan wajah Pak Tua, meraba-raba. Pak Tua membiarkan, tersenyum malah.
”Hidir... Astaga, kaukah itu Hidir?” Tuan rumah menepuk dahi.
”Benar. Ini aku.” Pak Tua tertawa, tongkatnya terlepas. Dia ber anjak memeluk sahabat lamanya erat sekali, tidak peduli tampias mengenai rambut putihnya.
”Siapa yang datang?” Wanita tua juga sebaya dengan Pak Tua, mengenakan kacamata, ikut mendekat dari arah kerumunan anak-anak yang bermain musik. Patah-patah melangkah dengan tongkat.
”Hidir. Hidir yang datang.”
”Hidir? Hidir siapa? Ya Tuhan, kaukah itu Hidir?” Wanita tua itu berseru tertahan, dan tanpa menunggu lagi, sudah meraba-raba ke depan, berusaha menyentuh wajah Pak Tua.
Bertiga mereka sekarang berpelukan. Bahkan, sumpah, aku sekilas bisa melihat mata Pak Tua berkaca-kaca.
”Sebentar, sebentar,” wanita tua itu menoleh ke arah kami,
”Kau tidak datang sendirian, Hidir? Siapa yang kau bawa? Bukankah kau hidup membujang? Jangan-jangan kau menikah tanpa bilang pada kami?” Pak Tua terkekeh.
”Perkenalkan, mereka kawan baikku. Ayo, Borno, jangan macam patung kehujanan, masuk ke sini. Borno ini sudah kuanggap lebih dari anak di Pontianak, yang satu lagi adalah Mei. Gadis yang berbaik hati mengantar kami. Tanpa bantuannya, boleh jadi aku tersasar. Kami pun saling berbagi cerita pengalaman. Rasa bahagia tak terkira bisa berjalan-jalan dengan Mei dan menyaksikan cerita cinta dari Pak Tua yang benar-benar ada.
Aku mengantar Mei pulang. Malam itulah, untuk pertama kalinya aku menyadari, Mei
datang dari keluarga yang amat berbeda denganku. Aku sudah duduk di ruang tamu. Terlihat seorang laki-laki.
”Selamat malam, Om,” aku segera menyapa sesopan mungkin.
”Kau siapa?” suara beratnya bertanya, tidak menjawab salam-ku.
”Eh, teman Mei,” aku menjawab ragu-ragu. Laki-laki itu menatapku tajam.
”Aku tidak suka kau ada di sini,” laki-laki itu berkata tanpa basa-basi.
”Eh, maaf, Om?” Aku tambah gugup, memastikan tidak salah dengar.
”Kau seharusnya tidak mengantar Mei pulang.” Tatapannya semakin tajam.
”Kau hanya akan membawa pengaruh buruk bagi Mei.” Aku membeku, bibirku seperti distaples, kelu. Satu menit berlalu tanpa suara. ku mendesah pelan, apalah dosaku? Apa aku berniat jahat? Aku bukan seperti Pak Tua yang bijak. Aku juga tidak seperti almarhum Bapak yang pahit getir di akhir hidupnya tetap memiliki kebaikan. Aku sekadar Borno, anak muda usia dua puluh dua, tidak berpendidikan tinggi, hanya pengemudi sepit.

Bab 16
”Bagaimana semalam?” Pak Tua bertanya saat sarapan.
”Bagaimana apanya?” Aku mengunyah nasi goreng gila ala Surabaya.
”Astaga, apanya? Mengantar Nona Mei lah.” Pak Tua melambaikan tangan, tertawa.
”Biasa saja. Bukankah Pak Tua sendiri yang menyuruhku segera pulang.”
”Maksud orang tua ini, bisa kauceritakan bagaimana di taksi? Apakah kalian diam-diam saja? Bagaimana rumah Mei? Kau sempat bertemu anggota keluarganya? Ayolah.”
”Biasa saja.” Aku menggeleng. ”Kami lebih banyak diam di taksi. Di rumahnya aku mampir sebentar, Mei meminjamkan kaus, lantas pulang. Hanya itu.”
” Dipinjami kaus? Amboi!” Pak Tua tetap antusias, sengaja tidak peduli dengan ekspresi wajahku yang tidak berselera cerita. “Sudahlah, kalau kau enggan bercerita, tidak usah dipaksakan.” Aku tidak berkomentar.
Esok paginya, lepas sarapan, aku berangkat membeli tiket. Kalau tidak salah, hari ini jadwal Mei mengantar neneknya. Aku akan menemui Mei, hanya  hendak bilang nanti sore kami pulang ke Pontianak. Di tempat pengobatan, kami pun bertemu.
”Bagaimana kabar Pak Tua? Kemajuan terapinya?”
”Baik. Baik sekali malah,” aku menjawab pendek. Lengang sejenak. Kami berdiam diri, aku menatapnya.
”Apa?” Wajah Mei bersemu merah.
” Tidak apa-apa.” Wajahku ikut memerah. Baiklah, urusan ini, lebih cepat lebih baik.
”Eh, nanti sore aku dan Pak Tua kembali ke Pontianak.” Mei menatapku lamat-lamat.
”Pulang?” Aku mengangguk. ” Terima kasih banyak sudah menemani kami jalan-jalan keliling Surabaya.” Aku menjulurkan bungkusan plastik yang kubawa sejak tadi. Dan aku berpamitan pada Mei sambil menyerahkan kaos yang ia pinjamkan. Selamat tinggal Mei.

Bab 17
Selamat pagi, Pontianak! Aku merapatkan sepit ke dermaga. Segera dahiku terlipat, entah hendak tertawa atau bingung. Alamak, apa yang telah terjadi selama aku ke Surabaya? Ada beberapa kejutan. Pertama, Bang Togar yang membuat peraturan baru bagi pengemudi sepit. Peraturan itu diantaranya, adanya SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) semiggu sekali dan larangan merokok saat mengemudikan sepit. Kejutan kedua, kabar burung itu ternyata benar. Urusan rumah tangga Bang Togar genting.
Sore, setelah mengantar karpet besar untuk Cik Tulani dan Koh Acong, Ibu justru rusuh menuruni anak tangga.
”Kau antar aku segera ke rumah Togar.” Saat tiba, rumah Bang Togar sudah ramai, beberapa tetangga berkumpul, berbisik, menghela napas prihatin.
”Kau memalukan, Togar. Sungguh memalukan seluruh keluarga kita.” Ibu tanpa tedeng aling-aling menunjuk wajah Bang Togar. Meski Bang Togar selalu membuatku sebal, aku kasihan juga melihatnya. Sepertinya hari ini saja sudah ada beberapa yang mengomel padanya. Ada Koh Acong dan Pak Tua di beranda depan.
Sore hari, hampir gelap tepian Kapuas, selesai Ibu mengomel, giliran Bang Togar yang dibawa pergi dua polisi. Keluarga Kak Unai melapor. Tidak perlu ahli hukum, kasus ini jelas kena pasal kekerasan dalam rumah tangga.
Padahal kisah cinta Bang Togar dan Kak Unai sangatlah hebat. Bang Togar menikahi Kak Unai yang merupakan putri dari kepala suku pedalaman. Ia sampai rela tinggal di perkampungan suku selama sebulan untuk membuktikan rasa ctanya yang sempat diragukan oleh ayah Kak Unai. Aku benar-benar merasa kasihan.
Tak terasa hari-hari aku leawti tanpa Mei. Aku terjatuh sakit, beberapa hari kemudian, saat tubuhku berangsur-angsur pulih, tiba-tiba dari jauh, tergopoh-gopoh Andi memanggilku.
”Aku melihatnya... aku melihatnya di dermaga kayu, Borno.” Andi berusaha menghirup udara segar, bungkuk memegang tiang rumah.
”Melihat apa? Pucat pasi begini, kau habis melihat si hantu Ponti?”
”Aku melihatnya. Aku melihat si sendu menawan naik sepit di dermaga.”

Bab 18 (254)
Tidak sesuai harapan, bukannya berempati, Pak Tua malah terpingkal-pingkal mendengar ceritaku.
”Kau benar-benar dikerjai Andi. Astaga, berarti selama ini  aku keliru menilai Andi sebagai banyak omong. Ternyata dia cerdas dan bernas.  Andi membuktikan dia adalah  teman sejati kau.”
Aku mendengus, apanya yang teman sejati? Kalau Pak Tua melihat bagaimana ekspresi wajah tak berdosa Andi di dermaga, mungkin Pak Tua akan setuju denganku.
Tadi pagi, saat mendengar Andi bilang Mei telah kembali, aku sontak loncat. Sial sarungku terpintal kursi, aku jatuh terguling. Tidak mengapa. Meski lututku terasa ngilu, aku berusaha bangun, bergegas. Aku terburu-buru menghidupkan mesin. Motor tempel meraung kencang saat kutarik pol gasnya.
Empat menit tiga belas detik, sepit merapat, aku loncat tak sabaran ke atas dermaga kayu, dan... Aku termangu bingung, justru rombongan ramai tujuh-delapan orang segera mengerubungiku.
”Nah, ini dia Borno. Akhirnya datang juga. Borno akan mengantar Encik sekalian berkeliling kota Pontianak, pelesir seharian.” Bapak Andi memperkenalkanku.
”Ah, aku ingat siape dielah. Die nih yang dulu meninggalkan rombongan kami di Istana Kadariah, bukan? Tak mau aku kalau die pegi-pegitak keruan lagi.” Salah seorang anggota rombongan tertawa.
”Nah, Borno. Tolong kau antar mereka. Kali ini bahkan ada yang datang dari Kuala Lumpur, mereka benar-benar terpesona dengan Pontianak, datang dengan sanak kerabat. Ingat, Borno, tugas negara, kau pahamlah maksudnya. Layani saudara satu rumpun ini dengan baik,” bapak Andi sibuk berceloteh.
Aku mematung, wajahku menggelembung, perlahan mulai mengerti apa yang telah terjadi. Astaga! Andi menjebakku. Andi sialan!

Bab 19
Hari ini satu bulan sejak aku berdamai dengan Andi. Pak Tua memberi kabar bahwa Bang Togar sudah dibebaskan. Hatiku ikut senang mendengar hal iu. Namun Pak Tua berkata bahwa Bang Togar bertingkah aneh.
”Cukup, cukup!” petugas timer berseru, menahan penumpang berikutnya.
”Masih kosong satu, Om!” aku mengingatkan petugas.
”Justru itu, cukup, jangan diisi lagi.” Petugas timer menggeleng,
”Memangnya siapa yang mau naik, Om?” aku ragu-ragu bertanya pada petugas timer, cemas dengan kemungkinan jawabannya.
”Ya siapa lagi? Dia sudah mencari-cari kau.” Petugas timer tertawa.
Astaga, aku berjengit. Baiklah, aku segera meraih kemudi sepit, bersiap menekan gas. Aku tidak mau bertemu Bang Togar sekarang, setidaknya sampai kelakuan dia kembali normal. Mampus aku kalau dicium-cium di dermaga ini.
”Woi, sabar, Borno!” Petugas timeryang baru sadar apa yang akan kulakukan bergegas memegang ujung perahu kayu. Menahannya.
”Aku berangkat saja, Bang. Tak mengapa tak penuh!” Saat melihat ke belakang, aku berseru panik. Penumpang spesial itu adalah Mei.
”Nah, akhirnya kutemukan kau di sini, Borno.” Eh? Kenapa suara Mei jadi berat? Itu bukan suara Mei. Itu suara Bang Togar. Bang Togar tiba-tiba sudah berdiri di sebelah petugas  timer, di depan Mei.Tubuh besar itu sudah memelukku erat sekali, bagai pasangan kekasih yang lama tidak berjumpa. Bang Togar mencium pipiku, mencium keningku, tidak peduli sepit jadi oleng kiri-kanan, membuat penumpang tambah berseru-seru sebal.
”Aku minta maaf atas semua perangai burukku selama ini. Kau tahu, selain pada Unai dan dua anakku, kau berada di urutan pertama orang yang paling sering kuzalimi.”
Setidaknya ada hikmah tersembunyi atas kelakuan ganjil bin aneh Bang Togar tadi. Rasa gugup setiap kali bertemu Mei dikalahkan rasa jengah jadi tontonan massal. Hei, aku bisa tersenyum normal pada Mei dan balas menatapnya.
”Abang lihat apa?” Mei menyengir, berseru berusaha mengalahkan suara mesin dan gelembung air.
” Tidak lihat apa-apa.” Aku balas menyengir. Kami tertawa.
”Apa kabar, Bang?” Mei bertanya.
”Buruk.” Aku pura-pura memasang wajah buram. ”Siapa pun yang habis dipeluk-peluk Bang Togar pastilah buruk kabarnya.” Mei tertawa, memperbaiki anak rambut di dahi.
”Kau apa kabar?” aku berseru, bertanya. Hei, barusan aku ter nyata bisa bergurau dengan Mei, tidak grogi, tidak malu-malu.
”Buruk.” Mei ikut memasang wajah masam. Eh, aku melipat dahi. Buruk apanya? Dia terlihat sehat. Pagi ini cerah wajahnya mengalahkan cerah kota Pontianak, sungguh.
”Siapa pun yang habis menonton dua laki-laki dewasa berpelukan, berciuman di tempat terbuka, pastilah buruk kabarnya, bukan?” Mei lantas tertawa.
Aku ikut tertawa. ”Enak saja.” Topik Bang Togar yang baru keluar penjara lantas menjadi bahan pembicaraan hingga sepit merapat di dermaga seberang. Penumpang melipat payung, meletakkan uang di dasar perahu, berdiri, bersiap loncat ke dermaga.

Bab 20
Esok harinya, aku bersama Mei dan penumpang lain duduk di atas sepityang melaju lambat, sengaja kulambatkan karena aku butuh waktu lebih lama,
”Abang besok narik?” Aku mengangguk.
”Oh, aku kira abang libur kalau hari Minggu.”Aku menggeleng.
”Padahal kalau Abang libur, siapa tahu mau menemaniku keliling Pontianak.”
”Libur. Aku besok libur narik,” bergegas kuanulir kalimatku sebelumnya.
”Baiklah. Besok pukul sembilan di dermaga.”
”Sepakat,” aku menjawab mantap.
Hanya perlu bersabar, dan semua skenario baik itu tercipta sendiri. Bukankah Pak Tua
pernah bilang, ”Ah, cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.”

Bab 21
”Ku dengar besok kau mau pelesir keliling Pontianak bersama pacar baru kau, Borno?” Cik Tulani bertanya santai sambil menyerahkan tiga rantang makanan.
”Pacar baruku? Pelesir?” Aku hampir tersedak. Dari mana Cik Tulani tahu urusanku itu? ”Kata siapa aku besok mau jalan-jalan keliling Pontianak?” Intonasi suaraku menyanggah.
”Alamak, semua penghuni gang sempit ini juga sudah tahu, Borno.” Cik Tulani tertawa. ”Kalau kau tak mau cerita, ya sudahlah, sana bergegas.“ Aku menelan ludah. Sial, ini pasti ulah Andi. Dia seperti ember, tumpah berceceran ke mana-mana rahasia orang. Semoga hanya Cik Tulani yang tahu.
Prospek menghabiskan waktu seharian bersama Mei adalah hal hebat yang pernah kuharapkan seumur hidup. Sejak semalam aku sudah merancang lokasi apa saja yang akan kukunjungi, rute terbaik,
”Astaga!” Petugas timer setengah tidak percaya. Bagaimana urusan ini, dari tadi tidak ada sepit yang mau narik, tetap merapat di tonggak kayu antrean, sementara pengemudinya asyik duduk menunggu.
”Enak saja dia suruh aku narik sekarang. Aku tidak mau ketinggalan momen spesial saat akhirnya gadis itu datang di dermaga.” Jauhari berbisik-bisik pada pengemudi sebelah.
”Aku juga.” Yang dibisiki menahan tawa, balas berbisik.
”Aku ingin melihat wajah Borno memerah malu ditimpa cahaya matahari. Tak bisa kubayangkan, akan seperti apa tampangnya.” Kerumunan pengemudi sepit terbahak-bahak
Di luar masalah mereka, aku punya masalah lebih serius. Ini sudah pukul setengah sepuluh, sudah ratusan kali mataku melirik ke gerbang dermaga, sudah ratusan kali pula aku mendesah. Kenapa Mei belum datang? Bukankah dia selalu tepat waktu?
”Borno, hei, mana gadis kau itu?” salah satu pengemudi akhirnya bertanya.
”Iya, ini sudah setengah jam lewat. Terlalu, dari tadi kami macam orang kurang kerjaan, duduk menunggu kau,” yang lain menimpali, bersungut-sungut.
Aku sebenarnya hendak ketus menjawab, Siapa suruh menunggu? tapi ada yang lebih kucemaskan, memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Aku tidak tahu apakah aku kecewa, sedih, atau malah marah saat ini. Tidak ada, sekilas aku masih menyempatkan untuk terakhir
kali melirik pintu gerbang. Mei tetap tidak ada di sana.

Bab 22
Sepulang dari dermaga, dengan sebal aku mengempaskan pantat di bangku depan rumah. Baru saja menghela napas, berusaha mengusir sesak, Ibu meneriakiku agar membeli keperluan rumah di toko Koh Acong. Koh Acong sempat-sempatnya bertanya.
”Haiya, bukankah kau seharusnya masih pelesir bersama gadis itu, ya?”
Aku mengangkat bahu, tidak berselera menanggapi dan kembali ke rumah.
”Kau bergegas ke rumah Andi.”
Benar dugaanku. Wajahku meringis. ” Tetapi sekarang hampir malam, Bu. Setidaknya aku mandi dulu dan beristirahat sebentar.”
”Darurat, Borno.” Wajah Ibu tegas. Aku menghela napas. Darurat apanya dengan si ember bocor itu? Sayangnya, aku tidak pernah bisa membantah Ibu. Dengan wajah kusut, aku segera menghidupkan sepit.
Andi sakit gigi. Itulah kode daruratnya. Sepanjang hari sakitnya bertambah-tambah. Pipinya bengkak, mulutnya bau, dan wajah Andi terlihat menyedihkan.
” Tolong antar dia ke dokter gigi di seberang, Borno.” Bapak Andi menitipkan anaknya. Aku mengangguk.
Sial, solar sepitku habis di tengah jalan—gara-gara kejadian tadi pagi, aku lupa. Sepitku merapat darurat di rumah panggung Pak Tua, minta tolong padanya mengantar. Jadilah sekarang, aku dan Pak Tua, menjelang magrib, pergi menemani Andi menuju  tempat praktik dokter gigi.
Permukaan sungai terlihat berkilat-kilat. Aku baru tahu bahwa tempat praktik dokter yang kami tuju punya dermaga kayu sendiri. Andi bergidik, menatap orang-orang yang menonton keributan, menimbang, akhirnya melangkah menuju meja pendaftaran. Kami duduk di bangku panjang setelah mendaftar. Lama kami menunggu, antrean pasien panjang, dua jam berlalu hingga akhirnya nama Andi dipanggil.
”Selamat malam.” Dokter gigi itu tersenyum.
”Selamat malam, Bu Dokter.” Pak Tua balas tersenyum.
Dokter tersebut terlihat sangan riang dan cantik. Andi yang tadinya ketakutan mendadak bersemangat untuk diperiksa. Setelah memeriksa Andi, doker tersebut menatap ku.
” Tidak salah lagi. Tadi sejak kau masuk aku sudah merasa begitu kenal. Saat membersihkan karang gigi Andi, berkali-kali aku melirik, aku merasa pernah melihat kau. Tidak mungkin salah lagi.”
Dokter gigi itu bangkit dari kursinya, melangkah patah-patah mendekatiku. ”Ya Tuhan, kita pernah bertemu di lorong rumah sakit sepuluh tahun silam, Abang.”” Tahukah Abang, lama sekali kami berusaha mencari tahu di mana Abang Borno selama ini. Sejak kejadian malam itu, keluarga kami tidak pernah tahu di mana tempat tinggal keluarga yang telah berbaik hati memberikan jantung untuk orang yang paling kami cintai.”
Aku menggosok dahi, menatap wajah menangis yang tetap terlihat ceria di depanku. Wajah yang sekarang sibuk menyebutnyebut rencananya, bertanya alamat kami, bilang akan berkunjung, bilang inilah, itulah, semua kebahagiaan atas pertemuan malam ini.
Hanya satu orang yang ekspresi wajahnya terlihat buruk. Kawan baikku Andi. Dia berdiri agak minggir di ruang praktik, menonton seluruh kejadian dengan wajah seperti sedang sakit gigi tidak tertahankan.

Bab 23
Kejutan besar juga menunggu di rumah. Dari jarak dua puluh meter aku sudah bingung melihat rumah papan Ibu yang tampak ramai malam ini. Ada beberapa orang yang kukenali dan tidak kukenali terlihat di beranda.
”Nah, akhirnya orang yang kita tunggu-tunggu datang. Kemari, Borno.” Bang Togar tertawa lebar.  Aku mendekat, menggaruk kepala. Ada Pak Tua, Koh Acong, Cik Tulani, dan beberapa pengemudi sepit serta tetangga lain.
”Abang Borno, kau sudah pulang?” Kalimat riang itu berasal dari dokter gigi kemarin yang sekarang berada di rumahku.
”Mama, sini, Ma. Ini dia Borno-nya.” Sarah menoleh ke belakang. ”Mama, bergegas! Bukankah Mama tadi tidak sabar ingin bertemu?” Sarah berseru.
Keluarlah wanita setengah baya ke beranda, sambil membimbing penuh penghargaan tubuh tua Ibu. Ditilik dari wajahnya, wanita ini sepertinya habis menangis.
”Boleh aku memeluk Nak Borno?”
”Anggap saja kami sekeluarga besar adalah bagian keluarga baru kau, Nak. Karena sejatinya, sejak jantung bapak kau ditanamkan di dada suamiku, sejak itu pula kalian adalah bagian keluarga kami. Kami sungguh menyesal baru tahu sekarang di mana kalian.”
Sarah sudah menyelinap masuk kamarku. Di belakangnya, salah satu keponakannya yang masih berumur tiga tahun ikut masuk sambil memegang sebatang cokelat besar.
”Buku ini bagus sekali,” Sarah tertarik, membaca-baca, ”Bahkan untuk seorang dokter gigi buku ini menarik. Coba baca halaman ini, aku jadi tahu tips tentang jangan pernah membiarkan tangki bensin kosong, itu akan merusak mesin. Abang beli di mana buku ini?”
”Itu hadiah,” aku menjawab perlahan.
”Hadiah dari siapa?” Sarah bertanya, sambil terus membukabuka halaman.
”Eh, dari Mei.” Aku menelan ludah.
”Siapa Mei ini, Bang?” Sarah tertawa akrab, mengedipkan matanya.
”Pacar Abang, ya?”
Kamarku lengang sejenak—hanya suara keponakan Sarah yang asyik menghabiskan cokelatnya. Aku menggeleng. ”Hanya teman.” Suaraku terdengar begitu hambar.
”Masa iya?” Sarah tidak percaya, wajahnya riang menyelidik.
”Hanya teman.” Suara hambarku sekali lagi terdengar di langit-langit kamar.

Bab 24
”Borno! Maju sepit kau!” petugas timer berteriak. Aku meletakkan buku, menarik pedal gas, propeler berputar lebih kencang, gelembung air menyeruak ke permukaan, sepitku
melesat anggun ke bibir dermaga, tempat belasan penumpang sudah berdiri antre.
”Bangku kosongnya biarkan saja, Om. Mei tidak akan naik sepit pagi ini!” aku berseru dengan intonasi senormal mungkin, mengatasi keramaian dermaga.
Ini hari ketiga Mei tidak naik sepit. Aku sebenarnya sama gugupnya dengan tiga hari lalu, berharap-harap cemas Mei akhirnya muncul di gerbang dermaga. Kemarin saat aku bertanya pada murid sekolah itu, yang naik sepitku, jawabannya tetap sama. ”Ibu Guru Mei mengajar seperti biasa.” Jawaban yang mengambil separuh semangatku. Perahuku menyisakan satu tempat kosong. ”Aku jalan, Om.”
Malam hari ketujuh sejak Mei tidak pernah kelihatan lagi di dermaga, halaman praktik Dokter Sarah terlihat ramai. Meja-meja besardi tengah taman, pegawai katering hilir-mudik membawa nampan, suara percakapan akrab, gelak tawa. Malam ini keluarga besar Sarah mengundang kami makan.
Pegawai katering berseragam hilir-mudik mengirim makanan. Aku menelan ludah.  Terlepas dari nama makanan, ada hal lain yang perlu dirisaukan. Lihatlah, setidaknya ada tiga jenis sendok, tiga jenis garpu, pisau, dan peralatan makan lainnya yang ada di hadapanku.
”Kau pakai yang paling pinggir dulu, Borno,” Pak Tua berbisik, memberitahu, mencontohkan. Yang lain, yang juga mendengar kalimat Pak Tua, mengangguk-angguk. Mereka meniru gaya Pak Tua memasang celemek di dada.
”Pakai yang mana saja boleh, Bu,” suara Sarah menjelaskan, terdengar dari seberang meja, ”tidak usah dipikirkan sendok mana. Anggap saja seperti makan di rumah.”
” Tapi ini banyak sekali sendoknya, Bu Dokter. Aduh, mana sendoknya bagus-bagus. Kalau mau dikasihkan lebihannya, saya tidak menolak.” Sarah tertawa renyah.
”Bagaimana, Bang Togar?” Entah sejak kapan, Sarah sudah pindah ke meja kami, berdiri anggun. Aku melirik tampilannya, ia terlihat cantik dengan kemeja putih. Tanpa saputan riasan, wajah riang Sarah terlihat bercahaya. Aku buru-buru kembali menatap piringku.Makan malam di hari itu menjadi makan malam yang amat mengesankann.
Suatu hari, aku memutusan menjual sepit. Uang yang aku dapat dari penjualan sepit ini, aku gunakan untuk membantu modal Bapak Andi yang akan membeliengel baru.  Dengan semua persetujuan, maka hanya butuh 24 jam semua beres. Menjual perahu di Pontianak bukan hal sulit. Sepitku dibeli oleh tauke yang sedang butuh perahu kecil untuk operasional pabriknya.

Bab 25
Setelah sepitku dijual, jangankan antre di tambatan sepit nomor tiga belas, mau ke mana-mana saja sekarang tidak mudah. Sekarang aku harus jalan kaki ke mana-mana. mampir sebentar ke rumah Pak Tua, disuruh Ibu mengantar rantang makanan. Aku berjalan melintasi gang sempit kami. Seseorang yang sepuluh hari terakhir gelap kabar beritanya, tidak pernah kulihat batang hidungnya, seseorang yang sungguh, meski aku sebal, sedih, marah, tapi dalam ruangan kecil di hati harus kuakui membuat rindu, justru tergesa-gesa menuruni anak tangga rumah Pak Tua.
”Mei?” Kami bertemu persis di tengah tangga.
”Abang?” Kami bertatapan dengan wajah kaku.
”Apa yang kaulakukan di sini?”
”Pak Tua. Eh, aku bertemu dengan Pak Tua.” Gadis itu mencoba tersenyum, kalimatnya patah-patah. Kami diam sejenak.
”Aku harus bergegas, Bang. Sudah terlalu sore. Maaf.” Gadis itu mengangguk cepat padaku, menuruni anak tangga dengan cepat, berlari-lari kecil menuju gerbang pagar.
Dia meninggalkanku yang berdiri termangu dengan rantang, tanpa sempat menahannya, tanpa sempat bertanya kabar, apalagi bertanya ke mana saja sepuluh hari terakhir. Kenapa dia tidak datang di dermaga kayu hari Minggu itu?
”Kenapa Mei datang ke rumah Pak Tua?” Aku langsung men-desak bertanya.
”Gadis itudatang untuk bertanya tentang kau,” Pak Tua menjawab santai.
“Kenapa Pak Tua tidak cerita?” aku berseru tidak percaya.
”Astaga, kenapa pula aku harus cerita?” Pak Tua meniru gayaku berteriak. ”Lagi pula gadis itu melarangku bercerita ke mana-mana, terutama pada kau.”
“Seminggu lalu, saat datang pertama kalinya, gadis itu melarangku bercerita, terutama pada kau. Maka jadilah orang tua ini memenuhi janjinya, tidak bercerita.”
Pak Tua menatapku datar. ”Kau ingin tahu kenapa dia tidak datang Minggu pagi? Jawabannya sederhana, dia tidak siap bertemu. Tiba-tiba merasa semuanya terlalu cepat...”
”Apanya yang terlalu cepat?” aku memotong.
”Mana aku tahu? Aku hanya mengulang kata per kata saja dari Mei, mengutip langsung dari ceritanya tanpa bumbu-bumbu.” Pak Tua menatapku sebal, karena kupotong.
”Kenapa dia tidak datang hari Senin, menumpang sepit antrean nomor tiga belas kau? Juga sama, dia sudah seratus meter dari gerbang dermaga, dia sudah siap menyeberang naik sepit, tinggal sepuluh meter lagi dari gerbang, saat dia melihat kau menunggu sambil membaca buku, dia memutuskan batal. Urung begitu saja. Jangan tanya orang tua ini kenapa. Itu juga dia lakukan pada hari Selasa, Rabu, dan seterusnya. Aku menelan ludah.
Aku pergi ke bengkel baru yang baru dibeli dengan uang hasil penjualan sepitku dan uang ayahnya Andi.
”Kau dari mana saja, Borno?” Andi tersengal, membungkuk.
”Eh, aku tadi dari balai kota. Kau mencariku?” Aku menatap Andi bingung.
“Kacau balau Borno!” Andi berseru.
”Kacau-balau?” Aku tidak mengerti.Andi pasrah menunjuk bengkel. Aku seketika menelan ludah.Lihatlah, ada beberapa petugas polisi di sana—kupikir tadi tamu atau kolega bapak Andi yang berkunjung hendak mengucapkan selamat.  Ternyata bengkel yang dibeli bukanlah milik penjual yang kemarin. Modal ku dan Bapaknya Andi hilang. Bapak Andi hanya bisa melamun seharian. Sungguh tidak bisa dipercaya, penjual dan notarisnya semuanya palsu. Usaha yang bisa kami lakukan adalah terus mengoperasikan bengkel sampai batas sewanya selesai.

Bab 26
”Kami terburu-buru, bisa kaubereskan lima belas menit?”
”Tenang saja, Om. Bengkel ini punya semboyan ‘Memperbaiki seperti pit stop balapan Formula 1’. Lima belas menit lebih dari cukup.” Andi sigap mendorong sedan ke dalam area parkiran bengkel.
”Kau tidak bergurau?” Andi mengacungkan dua jarinya. ”Lima belas menit tidak beres, gratis, Om. Tidak usah bayar.”
Tiga penumpang terlihat ragu-ragu. Yang paling depan menoleh pada temannya, yang ditoleh mengangkat bahu, mau ke mana lagi? Mobil sedan mereka persis mogok saat melintasi perempatan Jalan Atmo. Mereka sudah senang melihat ada tulisan ”bengkel”.
Mobil mati mendadak saat dikendarai, itu bisa empat hal: filter bensin mampet, rotax alias pompa besin mati, karburatornya kotor, atau sistem kelistrikan bermasalah. Tanganku cekatan membuka kap mesin, berdoa dalam hati, semoga bukan sistem kelistrikannya yang rusak. Dengan peralatan bengkel serba terbatas, akan repot sekali memperbaikinya kurang dari lima belas menit seperti bual Andi. Lima menit memeriksa, akhirnya aku tersenyum lega. Hanya karburator. Ini gampang, tinggal dibersihkan.
”Silakan distarter, Pak.” Lima menit berlalu lagi.
”Sudah selesai?” Salah satu penumpang sedan bertanya.
“Kau sungguh-sungguh?” Aku menyengir.
”Iya. Coba nyalakan saja.” Dia menoleh ke temannya, yang ditoleh mengangkat bahu, menyalakan mesin. Gerung mesin langsung terdengar. Ketiga penumpang itu tertawa lega.
Itulah pelanggan pertama kami. Efek senangnya bukan kepalang. Aku tertawa lega bukan semata-mata karena bengkel mulai beroperasi, tapi lihatlah, semangat Andi kembali pulih. Apa pun yang terjadi, aku tetap membuka bengkel seminggu kemudian. Terlepas dari kasus penipuan, pemilik bangunan menghormati kontrak sewa yang tersisa tiga tahun itu menjadi hak kami sekarang. Aku memaksa petugas melepas pita ”garis polisi”. Kami harus segera menjalankan bisnis, tidak bisa berkabung terlalu lama.

Bab 27
”Aku tidak bisa melakukannya sendirian, Daeng.” Aku menatap bapak Andi.
”Ini berbeda dengan membeli spare part, memperbaiki mobil, atau merekrut montir baru. Itu semua bisa kuurus bersama Andi. Yang satu ini berbeda. Daeng harus ikut membantu.” Bapak Andi balas menatapku. Ruangan kantor lengang.
”Kita sudah mampu menyewa peralatan itu, Daeng. Percayalah. Tidak usah dicemaskan uangnya. Dengan peralatan bengkel yang lebih baik, kita bisa menerima perbaikan mobil lebih banyak, lebih cepat, dan lebih efisien. Kita bisa membayar sewanya,” aku meyakinkannya. Bapak Andi tetap diam.
”Bagaimana? Daeng pasti bisa menghubungi bengkel-bengkel besar kenalan. Bertanya apakah mereka bisa menyewakan peralatan atau tidak. Aku tidak bisa melakukannya. Kenalanku tidak seluas Daeng.” Aku tersenyum, menyemangati.
”Aku takut, Borno.” Akhirnya bapak Andi bicara.
”Kali ini kita tidak akan ditipu, Daeng.” Aku menyentuh tangan bapak Andi.
”Aku sendiri yang memastikan semua peralatan itu terpasang di bengkel tanpa masalah sebelum kita melakukan pembayaran.” Ruangan kantor bengkel lengang lagi.
”Kau baik sekali padaku, Borno.” Bapak Andi berkata perlahan.
”Seharusnya kau menyalahkan orang tua bodoh ini, membuat kau kehilangan sepit...”
”Sudahlah, Daeng. Kita tidak akan mengenang kejadian dua bulan lalu. Itu sudah selesai. Sekarang saatnya maju. Kalau Daeng tetap sedih berkepanjangan, tetap ragu-ragu, kita tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Lihat, kita sudah punya dua montir baru, pelanggan banyak,” aku berkata mantap.
Bapak Andi diam, tangannya memperhatikan daftar peralatan bengkel yang kubutuhkan.
”Kongsi itu,” bapak Andi berkata pelan.
Aku menoleh. ”Iya?”
”Kau seharusnya mendapatkan porsi kongsi yang lebih besar sekarang, Borno. Kau bekerja lebih banyak.”
Aku mengangkat tangan. ”Kita urus itu belakangan, Daeng.”
Dua bulan berlalu, bengkel kami maju meyakinkan. Bukan soal pelanggannya yang bertambah, bukan pula hitungan jumlah montir atau pemasukan uang. Hal terpenting yang membuatku senang adalah kemajuan bapak Andi. Lihatlah, dia sudah ikut tertawa melihat menu makan malam kami. Aku tidak paham masalah psikologi. Aku paham soal mesin, tapi secara naluri aku tahu, cara terbaik mengembalikan semangat bapak Andi adalah dengan menyertakannya dalam semua kerja keras, pengharapan, dan cita-cita bengkel.
Tiba-tiba Mei datang ke bengkel. Esok harinya, Aku dan Mei memulai upaya untuk mempromosikan bengkel. Upaya tersebut kami lakukan dengan membagi-bagikan stiker dan jaket bertuliskan nama bengekel ini, “Bengkel Borneo”.
Setelah seharian kami mempromosikan bengkel ke sana ke mari, Aku memutuskan mengajak Mei makan di tempat spesial. Kami makan siang di restoran terapung
Sial, tanpa aku sadari, tentu saja perahu besar itu melewati dermaga gang sempit kami. Dengan geraknya yang lamban, siapa pun yang berada di dermaga kayu bisa melihat jelas penumpang kapal besar di atasnya—apalagi kami duduk persis di sisi luar.
”Woi! Woi, itu Borno, bukan?” Tiba-tiba terdengar seruan.
”Mana? Mana?”
”Itu, di atas kapal restoran terapung.”
”Iya, benar, itu Borno!” Aku yang merasa namaku disebut menoleh.
”Astaga! Kita menunggu sebal berjam-jam di dermaga kayu, ternyata dia justru sedang asyik makan siang bersama pacarnya.
“Lihat! Lihat!” Terdengar seruan kesal. Menilik suaranya, itu pasti Jauhari.
”Woi, Borno!” Mukaku langsung merah padam.
Setelah kejadian yang memalukan namun romantis itu, aku mengantar Mei pulang.
”Abang tunggu sebentar di sini, aku ambilkan bukunya.” Gadis itu menyuruhku masuk hingga ruang depan rumah besarnya, lantas belari menaiki tangga menuju lantai dua. Sejak dari opelet tadi Mei bilang dia punya buku tentang mesin yang bagus untukku.Tinggallah aku berdiri menunggu di ruang depan rumahnya yang luas dan tinggi.
Aku hendak menatap langit-langit ruangan yang berhiaskan lampu kristal, dari balik pot besar melangkah mendekat seseorang yang pernah kutemui di Surabaya.Berdeham mantap. Aku menoleh.
”Seharusnya kau berhenti menemui Mei, anak muda.” Suara berat itu langsung ke topik pembicaraan. Wajah khas peranakan Cina yang tegas, berwibawa, menatapku amat tajam.Aku tercekat. Seketika.
”Kau keliru, Borno. Keliru besar. Aku tidak pernah keberatan kau hanya pengangguran, pengemudi sepit, atau pemilik bengkel. Urusan ini tidak ada hubungannya dengan itu. Aku tidak suka kau dekat dengan Mei. Titik. Kau dan dia hanya akan saling menyakiti.” Ruangan terasa lengang. Wajahku entah sudah seperti apa, pucat.
Suara tegas itu menusuk hatiku, seperti roket yang ditembakkan berkali-kali di tempat sama. Aku tersengal. Situasi ganjil mengambang di langit-langit ruangan.
”Abang?” Mei justru menuruni anak tangga dengan wajah riang, melihat kami berdua yang berhadap-hadapan dari jarak lima langkah.
”Abang Borno sudah ketemu Papa.” Mei mendekat, membawa buku.
”Aku tadi lupa memberitahu, Papa baru datang dari Surabaya tadi malam, Abang. Menjengukku. Ibu, itu kali kedua aku bertemu dengannya. Meminjam istilah Pak Tua, itulah ”satpam rumah Mei” yang supergalak. Patah-patah aku izin pamit, menjulurkan tangan, yang hanya dibalas deham ringan. Mulai malam itu, semua episode kehidupan berikutku benar-benar berjalan runyam.

Bab 28
Pukul enam sore, jalanan depan bengkel ramai. Cahaya lampu hias mulai menyala, berpendar indah. Terdengar suara klakson mobil dan motor. Aku tidak sempat memperhatikan. Kepalaku berada di kap mobil, membungkuk, membongkar mesin. Tanganku licin oleh oli. Wajahku cemong tampilanku hanya lebih baik satu senti dibandingkan waktu dulu bekerja di pabrik karet.
”Ada yang mencari kau, Borno.” Ternyata Andi sudah berdiri di dekatku, mengetuk bumper mobil.
Aku mengangkat kepala. ”Siapa?”Andi menunjuk ke depan.
”Eh, aku cuci tangan dulu sebentar, ya.” Aku melangkah mendekati Mei.
”Tak usah, Bang. Aku hanya sebentar.” Gadis itu menggeleng.
Gerak kakiku terhenti, menoleh, menatap wajah yang sedikit menunduk itu. Ada apa? Suara bergetar Mei bukan pertanda baik.
”Atau setidaknya kita bicara di kantor saja.” Aku menunjuk Andi dengan siku, tidak enak didengar Andi. Gadis itu menggeleng.
”Baiklah.” Aku tersenyum pada Mei.
”Abang...” Suara Mei terdengar serak.
”Aku pikir, aku pikir kita tidak usah bertemu lagi.” Bahkan Andi yang pura-pura kerja tapi sejatinya menguping, terhenti gerakan tangannya membuka baut.
”Tidak usah bertemu?” Aku memastikan, siapa tahu aku salah dengar.
”Iya, sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi.”
Langit-langit workshop terasa lengang.
” Tapi kenapa?” Intonasi suaraku terdengar bergetar. Mei hanya diam, menunduk lagi.
”Ini, ini tidak ada hubungannya dengan Papa, kan?” Aku putus asa menebak.
”Papa? Memangnya Papa bilang apa pada Abang kemarin?”
”Eh, tidak bilang apa-apa.” Mulutku kaku. Menilik wajah Mei, ini jelas tidak ada hubungannya dengan dugaanku. ”Aku pikir, eh, justru mungkin Papa yang bilang sesuatu pada kau.”Gadis itu menggeleng.
”Papa tidak bilang apa-apa.”
”Lantas kenapa?” Aku memutuskan mendekat, jarak kami tinggal tiga langkah.
”Maafkan aku, Abang. Maafkan aku.” Gadis itu berulang kali menyebut kalimat itu, seperti mendesah pada langit kota Pontianak. Satu mobil opelet melintas. Mei melambaikan tangan. Opelet berhenti. Mei bergegas naik. Opelet itu melaju, meninggalkan aku yang berdiri terenyak.
Bab 29
Sebenarnya saat itu juga aku hendak menyusul Mei ke rumahnya, naik opelet, taksi, ojek, apa saja yang bisa kutumpangi, tapi Andi beranjak menemaniku berdiri termangu di  pinggir jalan. Dia berkata pelan, ”Kalau aku dalam situasi seperti kau, Borno, detik ini juga aku akan naik helikopter, terjun komando di depan jendela kamarnya, lantas menembakkan berjuta pertanyaan. Tetapi, kabar baiknya, aku tidak dalam situasi seperti kau, aku lebih waras. Andi menyengir. Aku menoleh, hampir mencekik Andi terlalu, dia benar-benar overdosis. Lihatlah, kawannya sedang sedih bagai anak habis diomeli ibu tiri, dia malah bilang lebih waras. Andi menyuruhku pulang lebih cepat. Aku menurut. Aku tiba di rumah setelah berjalan kaki setengah jam. Aku bergumam. Baru juga naik tangga, di beranda sudah berkerumun Bang Togar, Cik Tulani, Koh Acong, dan Pak Tua.
Terlihat meriah. Sepertinya ada Sarah aku menebak dalam hati. Siapa lagi yang akan membuat rumah papan Ibu jadi ramai kalau bukan dia.
”Halo, Abang.” Baru saja aku menebak, kepala Sarah sudah nongol di balik pintu, tersenyum riang. Di tangannya ada beberapa baju kurung yang sepertinya habis dicoba.
”Baru pulang dari bengkel?” Sarah meraih tas besar di bawah meja.
” Tidak ada masalah kan, di bengkel?” Sarah bertanya, menatap heran wajah kusutku.
”Paling juga dia habis bertengkar dengan pemilik mobil,” Pak Tua berkata santai, sudah mengenakan kemeja baru yang cocok benar di badannya.
”Bagaimana? Apakah orang tua ini jadi terlihat lebih tampan, Sarah?” dia bertanya pada dokter gigi itu. Sarah mengacungkan dua jempol.
Sudah tiga hari aku menahan untuk tidak bertemu Mei. Namun aku butuh penjelasan. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah Mei. Namun Mei tidak ada di sana. Aku pergi ke sekolahnya, namun ia segera pulang sesaat aku sedang berbicara dengan kepala yayasan untuk menemuinya. Akupun kembali ke rumahnya. Aku langsung bertanya.
”Mei sudah tiba?” Bibi mengangguk.
”Sedang mandi.” Aku menghela napas lega.
” Tolong bilang pada Mei, Bi, aku ingin menemuinya.” Bibi terdiam, berpikir sejenak, lantas masuk ke dalam, membiarkanku sendirian menunggu di beranda depan, sama seperti
kemarin malam. Satu jam. Lengang.
Dua jam. Gelas teh panas yang diberikan Bibi sudah habis. Malam itu aku tetap meninggalkan rumah besar itu dengan wajah kuyu. Mei menolak bertemu denganku. Setelah dua jam menunggu, dua jam membujuk, dua jam Bibi seperti setrikaan, bolak-balik beranda depan dan kamar Mei, sabar menangani kami berdua, Mei akhirnya hanya menitipkan secarik kertas, bertuliskan, ”Maafkan aku, Abang. Seharusnya aku tidak pernah menemui Abang.”
Aku menggenggam secarik kertas itu erat-erat.  Aku melangkah sendirian di bawah jutaan butir air hujan yang turun deras membasuh kota kami. Cahaya lampu mobil menerpa wajah. Membuat silau. Setelah seminggu berlalu, ini jelas bukan skenario penjelasan yang kuharapkan. Justru dengan dua kalimat pendek di atas secarik kertas, bermekaran berjuta pertanyaan lain. Kenapa? Kenapa sekarang, Mei?

Bab 30
Hari ini aku tidak mendatangi rumah Mei, atau sekolahnya. Sejak pagi Ibu sudah mengingatkan, juga Cik Tulani saat aku  lewat depan warung, juga Koh Acong saat aku melintasi toko kelontong, dan tentu saja Andi sepanjang siang di bengkel yang semangat saat mendengar aku mengajaknya. Hari ini kami pergi menghadiri undangan pesta kakak Sarah. Petugas resepsi mengantar rombongan kami ke meja kosong, langsung disambut mama Sarah dan Sarah dengan gaun serbamerah.
”Aduh, saya senang sekali Ibu dan yang lain mau datang.”  Mama Sarah memeluk Ibu erat-erat, sun pipi kiri, sun pipi kanan, sudah seperti memeluk saudara dekatnya saja.
”Ibu cantik sekali dengan baju kurung ini. Saya sendiri yang memilihkannya, membayangkan berkali-kali agar pas. Aduh senangnya, ternyata cocok.”
Ibu tersipu, bersemu merah sebenarnya tadi Ibu grogi, dia tidak pernah menghadiri pesta pernikahan model ini,
”Mana Borno?” Mata mama Sarah melintasi tubuh tinggi besar Bang Togar, mencariku.
Pak Tua menyikutku, menyuruh maju. Aku memasang wajah terbaik, menyapa mama Sarah. ”Selamat malam, Tante.”
”Kau tampan sekali dengan kemeja itu, Borno.” Mama Sarah tertawa renyah
Meja kami ramai lagi oleh tawa. Sepertinya mama Sarah akan bertahan lama di meja kami, mengobrol santai, menggoda aku dan Sarah, tapi rombongan tamu yang lain terus berdatangan, membuat percakapan terpotong.
Tak ku sangka, aku melihat Mei bersama Papanya. Papa nya pergi ke toilet. Akupun menghampirinya. ”Selamat malam, Mei.” Aku memutuskan lebih dulu menyapa Mei.
”Kalian saling kenal, Abang? Tien?” Sarah bertanya riang, memotong.
”Abang mengenal Tien? Tadi Abang memanggil apa? Mei? Oh ya, itu nama kecil Tien. Aduh, ini sungguh kejutan. Sarah mengambil alih semua pembicaraan.
Wajah Mei terlihat kaku. Demi sopan santun dia ikut berdiri, berkali-kali berusaha tersenyum, menanggapi betapa riangnya Sarah saat tahu kami sudah saling mengenal. Aku tahu, melihat wajah Mei, dia juga tidak menyangka akan bertemu denganku di pesta pernikahan ini. Sarah meninggalkan kami berdua.
Percuma. Begitu Sarah pergi, papa Mei telah kembali, melihat kami yang berdiri berhadap-hadapan.
” Tentu saja.” Suara papa Mei terdengar tajam seperti biasa, menatapku datar saat dulu pertama kali melihatku, sama sekali tidak tampak kaget.
” Tentu saja kau akan diundang dalam pesta ini.”
Aku menelan ludah. ”Selamat malam, Om.”
Papa Mei sama sekali tidak merasa perlu menjawab salamku.
Dia menoleh pada Mei. ”Kita pulang, Mei. Di luar mendung tebal, sebelum telanjur hujan.” Mei mengangguk, meraih tas kecilnya.
”Aku pulang, Abang.” Suaranya antara terdengar dan tidak. Mobil hitam metalik itu sudah merapat di lobi bersama mobil-mobil lain.
” Tunggu. Tunggu sebentar, Mei!” aku berseru. Seruan yang tidak hanya membuat langkah Mei dan papanya terhenti, tetapi semua undangan yang berdiri di lobi menoleh padaku. Pintu mobil sudah terbuka, Mei sudah bersiap masuk.
”Kenapa?” aku bertanya dengan seluruh pengharapan. Harapan atas sebuah penjelasan. Gadis itu menggigit bibir, menatapku lamat-lamat. Mei menggeleng. Dia perlahan masuk ke mobil. Mobil hitam metalik menderum halus meninggalkan lobi hotel.

Bab 31
            “Apakah kau telah berusaha bertanya padanya? Apa lasannya? Mengapa dia seperti itu?” Pak Tua bertanya.
”Mei terus menolak menjelaskan. Dia terus menolak. Bahkan aku cemas, dia malah memutuskan pergi dari sini.”
”Itu berarti sudah saatnya kau memulai kesempatan baru. Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang.” Aku terdiam.
”Pak Tua, tadi Pak Tua bilang Mei akan pergi?”
”Boleh jadi. Ketika dia tidak sanggup lagi menghindari kau, dia akan pergi. Tapi itu hanya asumsiku, Borno. Jangan percaya asumsiku.” Pak Tua melambaikan tangan. Aku menelan ludah. Mei pergi? Itu kemungkinan yang buruk. Ruang tengah kembali lengang.

Bab 32
”Langkah paginya kau berangkat, Borno?” Tetangga menyapa, menguap, masih sarungan di depan rumah papan yang menempel rapat satu sama lain.
”Kau mau ke bengkel atau jangan-jangan mau jadi komandan upacara bendera tujuh belasan di lapangan balai kota?” Aku menggeleng.
” Tidak dua-duanya, Pak. Aku mau ke dermaga feri.”
Hari ini akan dilaksanakan lomba balap sepit.Aku meminjam sepit Pak Tua. Meski sepit ini sudah uzur seperti pemiliknya, aku tidak akan kalah. Beginilah aturan mainnya. Ada 64 sepit yang ikut serta. Peserta dibagi menjadi 16 grup, berisi masing-masing empat peserta. Inilah babak penyisihan, setiap grup akan bertanding sekali, berhuluan menuju Jembatan Kapuas, lantas berputar arah di salah satu tiang betonnya, kembali berhiliran ke dermaga kayu. Pemenang grup otomatis maju ke babak enam belas besar. Nama-nama 64 peserta lomba dengan grupnya sudah ditulis di papan besar dekat podium, dilengkapi panah-panah diagram menuju babak final.
Sarah mengikutiperandingan ini. Ini pertama kali ada perempuan ikut serta lomba dan langsung mengalahkan pengemudi sepit laki-laki. Apa kata mereka? Tetapi tidak ada yang peduli dengan wajah masam Bang Togar.
Penonton berseru-seru menyemangati. Turis bule sibuk memotret. Aku menelan ludah. Sepit Sarah meluncur melintasi garis finis tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun. Cepat sekali bahkan aku tidak yakin apakah sepit Pak Tua lebih cepat dari itu.

Bab 33
Babak 16 besar dimulai. Enam belas sepit terbaik dari babak penyisihan kembali dibagi menjadi empat grup dengan masing-masing empat sepit. Juara grup baru ini otomatis berhak masuk ke babak final, empat sepit terbaik. Perlombaan semakin menegangkan. Kerumunan penonton di dermaga semakin ramai, juga di sepanjang tepian Kapuas. Pukul empat sore, matahari mulai bergerak tumbang, permukaan sungai tidak terlalu terik, penonton bisa menonton lebih nyaman.
”Woi, maju empat sepit pertama!” Petugas timer memulai babak 16 besar. Sepit merah Bang Togar meluncur anggun ke bibir dermaga  bersama tiga sepit lainnya.
”Kalian siap?” Petugas timer memastikan. Empat pengemudi sepit mengangguk. Penonton bersorak-sorai. Anak-anak menggemakan koor,
”Petir! Petir! Petir!”
Dor! Tembakan tanda start berbunyi nyaring. Permukaan Sungai Kapuas segera dipenuhi gelembung dan gerakan air, seperti ombak.  Sepit merah Bang Togar sudah kembali, meluncur di depan.
Berbeda dengan babak penyisihan yang mudah saja kumenangkan, aku tahu babak 16 besar lebih sulit.
Sepitku melintasi garis finis. Aku lolos ke babak final. Grup terakhir. Masih tersisa satu sepit lagi yang berhak maju ke babak final. Grup terakhir. Masih tersisa satu sepit lagi yang berhak maju ke babak final.
”Kalahkan dia, Jupri!” Bang Togar terlihat berbisik pada Jupri yang bersiap.
”Kalau kau berhasil mengalahkan dokter gigi itu, utang kau selama ini kuanggap lunas.” Bang Togar menepuk-nepuk bahu Jupri.
” Tapi kalau kau yang kalah, awas saja.”
”Hati-hati, Sarah.” Aku sedikit gugup melihat Sarah harus ber tanding melawan Jupri, dia sama curangnya dengan Bang Togar.
Sarah tersenyum, loncat ke atas sepit hijaunya. ” Terima kasih sudah mengingatkan, Abang.”
”Lihat! Astaga, leluhur kita, leluhur kita benar-benar akan marah, Bang Togar!” petugas timerberseru lantang, menatap tidak percaya. ”Sepit hijau memimpin jauh di depan, bahkan meninggalkan Jupri, juara dua lomba sepit tahun lalu.”
Inilah dia, setelah 64 sepit berlomba, 60 tersingkir, empat akhirnya maju ke babak final. Inilah babak yang paling kita tunggu-tunggu.” Suara petugas timer mulai terdengar serak setelah hampir tiga jam memimpin pertandingan. ”Kita sambut empat finalis yang akan memperebutkan piala.
Saat Bang Togar, Sarah, dan Johan sudah loncat ke atas sepit, ada yang tiba-tiba mendekatiku, menerobos kerumunan penumpang. Seseorang itu segera menahan tanganku, membuat gerakanku yang hendak loncat ke atas sepit terhenti. Seketika.Aku menelan ludah. Ada apa? Ternyata itu adalah bibi yang bekerja di rumah Mei. Bibi yang selama ini selalu menyampaikan suratku kepada Mei.

Bab 34
Pak Tua selalu benar. Tetapi bukan soal memulai kesempatan baru itu. Ketika Mei tidak kuasa lagi membaca pesan-pesan itu, terlebih pesan terakhirku dengan satu kalimat yang telah kuhapus, aku tidak tahu bahwa mudah saja membaca apa yang telah dihapus dari tulisan pensil. Mei memutuskan pergi. Dia menjauh dariku ketika menjauh secara perasaan  tidak cukup, maka menjauh secara fisik adalah pilihan berikutnya.
Pak Tua benar, Mei pergi. Bibi, adalah Bibi yang memegang tanganku. Dia tersengal, berpeluh, tangannya gemetar menjulurkan lipatan kertas.
”Nona, Nona Mei, Nak Borno...!” Susah payahBibi berseru, berusaha mengalahkan bising penonton dan sengal napas. Aku menelan ludah, menatap wajah yang pastilah habis berlari secepat mungkin dari perempatan dekat gang.
”Ini apa?” Tanganku gemetar mengangkat lipatan kertas.
”Pesan dari Nona Mei, Nak.”
”Maafkan aku, Abang. Aku pulang ke Surabaya.”
Kau sungguh terlalu, Mei. Kutulis pesan berbaris-baris, hanya ini balasan pesan kau?
”Satu jam lalu. Nona Mei sebenarnya menyuruh Bibi mengirimkan pesan ini besok pagi. Tapi bibi tua ini tidak tahan, tidak kuasa. Kau harus segera tahu, Nak. Kau berhak tahu. Seumur-umur Bibi bekerja di rumah itu, sungguh baru pertama kali ini Bibi melanggar perintah. Aduh, semoga almarhumah Nyonya tidak marah.” Astaga! Aku sungguhan panik.
Aku sudah lari menerobos kerumunan penonton, menyibak siapa saja di depanku, mendorong paksa, satu-dua jatuh terduduk. Aku tidak peduli. Aku bergegas secepat kakiku bisa melewati gerbang dermaga. Aku, dengan kecepatan penuh, sudah mengejar Mei ke bandara. Tanpa berpikir pan-jang, aku nekat menerobos palang pintu.
”Mei!” aku berteriak kencang. Eh? Petugas yang masih menghalangiku bingung. Kenapa aku tiba-tiba teriak.
”Mei!” aku berseru lebih kencang. Entah ada di mana Mei, setidaknya teriakanku menarik perhatian penumpang yang ada di ruang tunggu.
Dua petugas segera meringkusku. Aku melawan.
”Mei!” Aku mohon, dengarkanlah. Sekarang tiga petugas berusaha meringkusku. Badan mereka besar-besar. Orang-orang berdiri menonton, berbisik-bisik.  Aku kalah tenaga, diseret keluar dari ruang tunggu. Mei, di manakah kau?
Mereka memeriksa dompetku, membuat berserak KTP, uang receh, pesanan spare
part, catatan kecil tentang jadwal pelatihan bengkel, bukti utang Juned, dan kertas kecil, lecek, bertuliskan
”Maafkan aku, Abang. Seharusnya aku tidak pernah menemui Abang.” Itu pesan Mei
yang selalu kusimpan di dompet. Petugas terdiam membacanya. Mereka menatapku.
”Cerita kau sungguhan?”Aku menunduk. Petugas berbisik-bisik, suara mereka prihatin. Aku akhirnya dilepaskan. Aku mendorong pintu ruangan, menghela napas. Selesai sudah. Semua urusan ini berakhir tanpa aku sempat mendengar penjelasan. Sudah pukul tujuh malam, sebaiknya aku pulang.
”Abang...” Suara itu memanggilku. Aku mengangkat kepala.
”Abang baik-baik saja, kan?” Aku sungguh seperti mendapatkan kejutan.
”Kau, kau tidak jadi naik pesawat?” Aku meneguhkan diri. Mei mengangguk.
” Tapi aku tetap pulang ke Surabaya, Abang,” Mei berkata pelan, menunduk.
”Aku sudah membeli tiket baru. Pesawat terakhir yang menuju Surabaya hari ini.”
”Kenapa, eh, kenapa kau pergi mendadak sekali?” aku bertanya gugup.
”Maksudku, eh, kalau kau masih sempat bilang dua atau tiga hari lalu, mungkin aku bisa membelikan oleh-oleh, durian pontianak, pisang goreng, atau apalah yang kausukai.” Mei tertawa pelan, getir. Kami terdiam lagi.
”Berapa lama kau ke Surabaya? Tiga hari?” Mei menggeleng.
”Satu minggu?” Mei menggeleng.
”Dua minggu? Satu bulan?” Suaraku bergetar.Mei menggeleng.
”Aku tidak tahu, Abang. Boleh jadi selamanya.”
” Tapi... tapi kenapa, Mei?” Akhirnya pertanyaan itu berhasil ku keluarkan langsung di hadapannya, setelah berminggu-minggu terpendam. Mei diam sejenak.
”Aku juga tidak tahu persis apa alasannya, Abang. Aku tidak tahu. Mungkin ini lebih baik buat kita.”
“Tidak tahukah kau, kalau, kalau...,” aku meremas jemari, memaksa kakiku tetap kokoh berdiri Mei menunduk lagi.
”Maafkan aku, Abang, karena, karena aku sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kedekatan kita, hubungan kita, semuanya. Minggu-minggu terakhir ini membingungkan. Bahkan sebenarnya, sejak pertama kali kita bertemu di atas sepit, semua sudah rumit.” Aku menyisir rambut dengan jari. Rumit apanya?
”Apakah, apakah kau menyukaiku?” Entah kenapa, aku justru mengeluarkan pertanyaan itu untuk membuat semua kerumitan menjadi lebih sederhana.
”Aku tidak tahu, Abang. Aku sungguh tidak tahu lagi apa  yang sedang aku lakukan. Berdiri di sini, menunda pesawat tadi, menghindari Abang berminggu-minggu, menolak bertemu. Semua ini membingungkan, bahkan bagi diriku sendiri.” Suara gadis itu bergetar.
”Maafkan aku, Abang. Kita hanya saling menyakiti jika terus bertemu.”
Pengumuman di langit-langit ruangan terdengar sekali lagi, final call untuk penumpang penerbangan terakhir menuju Surabaya.
”Berjanjilah, Abang, hingga hari itu tiba, baik atau buruk  akhirnya, sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, Abang Borno akan terus melanjutkan hari-hari, terus menjadi bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Aku harus pergi, Abang, selamat tinggal.” Gadis itu lantas balik kanan, satu tetes air matanya tepercik ke lantai. Dia berlari-lari kecil menuju pintu ruang tunggu. Aku berdiri mematung. Percakapan telah selesai.

Bab 35
Satu bulan pertama tidak mudah, semua kenangan itu kembali, membuat duniaku menjadi terbalik. Wajah Mei saat hujan-hujanan di rumah Fulan dan Fulani, wajah Mei saat  bertanya ”Apakah Abang sudah dapat angpau?” di dermaga, wajah Mei saat makan bersama di restoran terapung.
Semuanya berebut memenuhi kepala. Membuatku tidak semangat mengurus bengkel, tidak semangat mengurus diri sendiri, lebih sering diomeli Ibu, yang kesal melihatku malas-malasan di rumah.  Andi juga selalu mengeluh setiap melihatku di bengkel, bilang aku seperti anak kecil cacingan, menjadi pendiam dan suka lemas sendiri. Itu sungguh hari-hari yang sulit, kurang tidur, tidak selera makan, sensitif, dan mudah marah.
Kabar baiknya, memasuki bulan kedua, situasiku membaik.  Bengkel kami berlari kencang. Dengan peralatan baru yang dibeli di Surabaya, lebih banyak mobil dan jenis pekerjaan yang bisa kami terima, lebih cepat dan lebih efisien. Pegawai bengkel sudah bertambah duasatu montir, satunya lagi urusan administrasi.
Kesibukan bengkel sedikit-banyak mengusir resahku. Enam bulan ini, Sarah banyak bercerita tentang masa kecil kalian. Favorit dia adalah mengulang kisah dikejar penduduk  gara-gara mencuri mangga. Aku sampai hafal detail kejadian itu. Sarah bilang, kau pergi tiba-tiba saat usia kalian dua belas tahun, tanpa pamit, tanpa kabar. Seluruh keluarga besar kalian  pindah ke Surabaya. Kalian baru bertemu kembali saat kau magang di sekolah milik yayasan itu.Jadi maafkan aku, Mei, itulah satu-satunya yang tidak bisa kupenuhi. Sarah bukan kesempatan baru bagiku. Kau satu-satunya kesempatan yang pernah kumiliki, dan aku tidak akan pernah mau menggantinya dengan siapa pun.

Bab 36
Kau tahu, Mei, ini sudah hampir sebelas bulan kau tidak ada kabarnya. Apakah kau baik-baik saja? Sehat? Apakah kau rindu padaku?
Kau tahu, Mei, aku tetap memegang janjiku padamu. Mengurus bengkel dengan baik, terus menjadi bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas. Bengkel itu semakin hebat sekarang. Sebulan lalu kami membicarakan kemungkinan membuka cabang baru. Kami merekrut tiga montir tambahan.
Oh ya, Mei, bulan depan aku akan mendaftar kelas ekstensi Jurusan Teknik Mesin di Universitas Pontianak. Itu cita-citaku. Pasti lelah mengurus bengkel sepanjang hari, lantas belajar pula pada malam hari, tapi itu menyenangkan. Aku tidak sabar untuk mulai belajar mesin dengan benar, tidak belajar sendiri.
Kau apa kabar, Mei? Apakah kau terus menjadi guru yang baik? Mencintai dan dicintai anak murid kau? Bolehkah aku bertanya tentang itu, Mei? Apakah sekarang semuanya mulai jelas? Apakah sekarang kau mulai yakin atas hubungan ini? Apakah kau sudah punya jawabannya? Kalau sudah, bisakah kau segera memberitahuku? Kemajuan sedikit saja di hati kau akan memberikan rasa tenteram yang luar biasa bagiku. Saat aku menjejakkan kakiku di pelataran jalan, seseorang itu telah menunggu. Jawaban itu telah tiba.

Bab 37
            Adalah Bibi yang menungguku di loket bus Pontianak Kuching. Dia cemas. Wajahnya penat. Jelas sudah sejak sore dia menungguku di loket.
”Mei... Nona Mei sakit, Nak.” Bibi langsung ke topik pembicaraan.
”Sakit? Sakit apa?” Aku menyeka keringat di leher.
”Bibi tidak tahu, Nak.”
”Sudah berapa lama?”
”Hampir tiga bulan.”
” Tiga bulan?” Astaga. Aku menelan ludah, memastikan apa aku tidak salah dengar.
Bibi mengangguk, menatapku dengan wajah prihatinku terdiam. Ya Tuhan, bagaimana mungkin Mei sakit begitu lama baru sekarang beritanya kuterima. Apa yang Bibi bilang? Dia dilarang memberitahuku. Ini semua tidak masuk akal. Ada banyak sekali penjelasan yang kubutuhkan sekarang.
”Apakah, apakah Nak Borno akan pergi ke Surabaya?” Bibi bertanya ragu-ragu.
” Tentu saja!” aku berseru pada Bibi.
”Eh, Nak Borno tidak akan bilang ke mereka kalau tahu dari Bibi, kan?
”Itu tidak penting, Bi. Aku tahu dari siapa itu tidak penting. Aku seharusnya tahu sejak awal kalau Mei sakit.” Bibi menunduk. Wajah lelahnya terlihat kalut.
”Satu lagi, Nak Borno. Apakah, Nak Borno masih menyimpan amplop merah itu?”
”Amplop merah apa?”
”Angpau, amplop merah yang pernah Nak Borno temukan di dasar sepit? Itu bukan angpau biasa yang terjatuh dari penumpang, Nak. Bibi tahu kau menemukan amplop itu. Bibi juga tahu kau dulu mencari-cari Nona Mei untuk mengembalikannya. Itu sungguh bukan angpau biasa. Itu surat dari Nona Mei, dijatuhkan dengan sengaja oleh Nona Mei sebelum kalian saling mengenal. Bacalah, Nak, bacalah sebelum kau berangkat ke Surabaya. Itu akan
menjelaskan banyak hal.” Aku terdiam, semakin tidak mengerti.
”Bibi harus pulang sekarang. Maafkan Bibi baru memberitahu. Urusan ini pelik sekali. Ternyata bertahun-tahun setelah kalian saling kenal, bahkan setelah hampir setahun Nona Mei pulang  ke Surabaya, kau bahkan tidak pernah tahu bahwa itu surat. Semoga kau tidak membenci Nona Mei setelah membaca surat dalam angpau itu. Selamat malam, Nak Borno.” Bibi bergegas meninggalkanku.
Malam itu aku benar-benar tidak bisa memicingkan mata walau sedetik. Setiba di rumah, aku langsung berlari masuk kamar. Aku membongkar lemari pakaian, mencari amplop merah yang dulu kutemukan di dasar sepit. Tanganku gemetar merobek ujung amplop yang masih dilem rapi.
Bibi benar, ini bukan angpau. Tanganku gemetar menarik keluar isi amplop. Bukan uang, melainkan dua lembar surat. Ditulis tangan. Pojok kiri atas, tertulis rapi: Untuk Abang Borno. Aku menahan napas. Dadaku berdetak lebih kencang. Malam itu aku benar-benar tidak bisa memicingkan mata walau sedetik. Akhirnya semua penjelasan kudapatkan

Abang pastilah bertanya-tanya, siapa yang telah mengirimkan  surat bersampul merah ini. Perkenalkan, namaku Mei, aku dulu dibesarkan di Pontianak, hingga usia dua belas, sebelum pindah ke Surabaya. Abang pastilah tidak mengenalku, tetapi aku amat mengenal Abang, bahkan jauh-jauh hari sebelum aku magang di sekolah yayasan. Abang tahu, berminggu-minggu aku sengaja naik sepit, dan selalu berharap naik sepit yang Abang kemudikan. Aku berkali-kali ingin menyapa, tapi itu ternyata tidak mudah dilakukan. Bibir  selalu kelu memulainya, tangan terasa kaku dijulurkan, jadilah aku lebih banyak diam, menatap sembunyi-sembunyi. Sejujurnya, bahkan kenapa aku memilih magang di kota ini, karena ingin bertemu Abang. Sayangnya, setelah bertemu, setelah jarak kita begitu dekat,
aku malah tidak kunjung berani menyapa Abang.
Bibi, orang yang mengasuhku sejak kecil, akhirnya menyarankan agar aku menulis sepucuk surat untuk Abang. Saran Bibi, jika aku juga tidak berani menyerahkannya secara langsung, jatuhkan saja di dasar sepit yang Abang kemudikan, Abang pasti menemukannya, dan berdoalah Abang akan membacanya. Maka, inilah surat itu. Aku berharap, sungguh berdoa, semoga setelah Abang membaca surat ini, Abang tidak membenci keluarga kami, tidak membenci Mama, tidak membenci Mei. Maafkan keluarga kami, Abang.
Kami dulu tinggal di Pontianak, Abang. Mamaku dokter, dia juga salah satu pendiri yayasan, pengelola kompleks sekolah tempat aku magang. Sedangkan Papa, dia sibuk dengan bisnisnya. Aku ingat sekali, masa kanak-kanak yang menyenangkan. Aku dulu nakal, sembunyi-sembunyi membawa boatPapa, berkelahi dengan anak sekolah lain, bahkan mencuri mangga. Tapi itu masa-masa yang menyenangkan. Selalu ada Mama yang membelaku.
Mama adalah segalanya bagiku. Dia cantik dan pintar. Dia selalu membelikan buku-buku yang bagus. Kata Mama, ’Berikanlah hadiah buku kepada seseorang yang amat kauhargai.’ Mama selalu menemaniku beranjak tidur, selalu memasakkan makanan yang enak. Hanya satu yang Mama larang dariku, memakan cokelat, permen, dan yang manis-manis. Di luar itu boleh. Dia segalanya bagiku.
Hingga usiaku 12 tahun. Aku sungguh tidak tahu apa yang telah terjadi, tiba-tiba Mama jadi pendiam. Mama sering ditemukan melamun sendirian, menangis sendirian, dan berteriak-teriak tanpa alasan. Hanya soal waktu, Mama jatuh sakit tanpa penjelasan. Sakit berkepanjangan, berbulan-bulan. Tubuhnya jadi kurus kering, wajahnya pucat, rambutnya rontok. Aku sedih sekali melihat wajah tirus Mama, tubuh lemahnya, tapi tidak mengerti apa yang telah terjadi. Enam bulan Mama jatuh sakit, tidak kunjung sembuh.
Papa memutuskan pindah ke Surabaya. Keluarga besar kami pindah. Semua dikemasi, tidak ada yang tersisa, kecuali Bibi yang tinggal, merawat rumah di Pontianak. Aku bahkan tidak sempat berpamitan dan bilang ke teman-teman kenapa pindah. Semua alasannya gelap. Hilang sudah masa kanak-kanakku yang menyenangkan. Hari-hariku lebih banyak dihabiskan menyaksikan tubuh Mama yang semakin layu, melihat Mama yang semakin tidak dikenali. Sakit Mama lama sekali, bertahun-tahun, hampir tiga tahun, hingga Mama pergi selama-lamanya. Aku sungguh tidak tahu Mama sakit apa. Papa bilang, Mama baik-baik saja. Dari menguping percakapan dokter, mereka bilang Mama depresi berat, memikul beban perasaan
yang terlalu berat. Aku tidak mengerti, bukankah Mama selama di Pontianak terlihat amat bahagia? Apanya yang membuat Mama depresi hingga fisiknya ikut sakit sedemikian rupa? Hingga kami harus pindah dari sana.
Setahun silam, persis pada lima tahun peringatan kepergian Mama, Bibimengirimkan kardus buku milik Mama yang tertinggal di Pontianak. Kupikir itu hanya koleksi buku biasa, ternyata tidak, Aku menemukan buku harian Mama terselip di dalamnya.
Abang, sungguh maafkan keluarga kami. Maafkan Mama yang telah menyakiti keluarga Abang. Ternyata Mama adalah dokter yang melakukan operasi jantung dini hari itu. Mama-lah yang memutuskan apakah bapak Abang Borno telah meninggal atau belum secara medis. Mama yang membedah dada bapak Abang Borno. Dari catatan harian itu, aku tahu, operasi itu seharusnya tidak pernah dilakukan. Mama dibutakan dengan ”prestasi”, ”tinta emas”, dan sejenis itulah jika dia berhasil. Mama sebenarnya tidak pernah yakin, bahkan dari catatan itu, Mama mengaku dia bisa saja menyelamatkan bapak Abang Borno, tapi dia memutuskan sebaliknya, operasi itu harus dilakukan. Itulah yang membuat Mama tiba-tiba berubah. Saat melihat Abang Borno menangis sendirian di lorong rumah sakit, saat melihat ibu Abang Borno berusaha memeluk Abang, kesadaran itu datang. Sungguh, apa hak Mama mengambil kehidupan seseorang, lantas memberikannya ke orang lain? Apa hak Mama membuat keluarga Abang kehilangan seseorang yang amat kalian cintai?  Itulah penjelasan yang terlambat datang, ditulis berkali-kali di buku harian Mama.
Sejak saat itu, kondisi Mama memburuk dan fisiknya menyusul jatuh sakit. Papa akhirnya memutuskan pindah ke Surabaya, berharap penyesalan tentang operasi itu berkurang sedikit. Sia-sia, kondisi Mama terus memburuk. Itu sungguh masa paling sulit bagi keluarga kami, Abang. Aku besar dengan seluruh kesedihan, menyaksikan Mama terbaring di ranjang selama tiga tahun. Tetapi itu mungkin harga yang pantas, huku man yang harus kami terima, karena keluarga Abang lebih menderita lagi, dan kamilah penyebabnya.
Setelah membaca buku harian Mama, aku memutuskan untuk menemui Abang. Aku sengaja magang di sekolah milik yayasan, kembali ke Pontianak. Papa melarangku, tapi keputusanku sudah bulat. Aku tidak bisa mengembalikan situasi, sama sekali tidak bisa, tapi aku sungguh berharap bisa menyapa Abang Borno. Aku tidak berharap banyak, hanya ingin menyapa. Abang bisa jadi malah membenci kami. Tetapi tidak mengapa, setidaknya aku m
enyampaikan permintaan maaf Mama yang tidak pernah tersampaikan. Sungguh maafkan Mama, Abang. Maafkan aku. Sungguh maafkan kesalahan besar keluarga kami.

Dari Mei.

Tanganku gemetar, dua lembar surat Mei terlepas. Ya Tuhan, aku sama sekali tidak menduga isi surat ini akan seperti itu.

Epilog
”Maju satu sepit lagi!” petugas timer macam Rocker kelas kampung berteriak lantang.
”Woi, Borno! Majulah sepit kau itu!”
Jauhari, yang antreannya persis di sebelahku, memukul dinding sepitku, ikut mengingatkan.
Aku meletakkan buku tanggung sekali, tinggal satu halaman lagi. Aku menarik tuas mesin. Kipas propeler berputar cepat. Gelembung air muncrat ke permukaan sungai. Sepitku anggun merapat ke bibir dermaga.
Apakah aku tetap menemui Mei, enam bulan lalu? Aku bahkan berangkat ke Surabaya dengan penerbangan pertama. Lantas menumpang taksi, menuju rumah besar itu. Belum tidur, belum makan, bahkan belum mandi sejak aku membaca surat dalam angpau merah.
Mei terbaring lemah saat aku melangkah masuk ke kamarnya, diantar salah satu perawat. Tubuhnya kurus. Wajahnya pucat. Rambutnya rontok. Dia tergugu melihatku. Sambil menahan air mata agar tidak tumpah, aku lembut memegang jemarinya.
”Kau tahu, Mei. Dulu aku pernah bertanya pada Pak Tua, ‘Kalau untuk Andi, Pak Tua punya kalimat bijak dan cerita hebat cinta yang cocok baginya, lantas untukku, apakah Pak Tua juga punya?’ Pak Tua tersenyum,  menepuk bahuku, ‘ Tentu ada, Borno. Tentu ada. Tapi aku akan membiarkan kau sendiri yang menemukan kalimat bijak itu, kau sendiri yang akan menulis cerita hebat itu. Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, maka definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amatberbeda, amat menakjubkan.’ Kau tahu, Mei. Hari ini aku mengerti kalimat Pak Tua.”
”Aku berjanji akan selalu mencintai kau, Mei. Bahkan walau aku telah membaca surat dalam angpau merah itu ribuan kali, tahu masa lalu yang menyakitkan, itu tidak akan mengubah apa pun. Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku, menghinaku, itu juga tidak akan mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas, maka siapa lagi yang bisa kaupercaya?” Mei menangis bahagia mendengar kalimat itu.
Sejak hari itu, tidak ada lagi sendu nan misterius di wajahnya. Dia sama riangnya dengan seluruh gadis di Pontianak, tempat dia kembali mengajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar